Sejarah Perkembangan Tasawuf
2.1 Sejarah Perkembangan Tasawuf di Indonesia
Diskusi tentang keberadaan tasawuf di Nusantara, tidak bisa
lepas dari pengkajian proses islamisasi di kawasan ini. Sebab, tidaklah
berlebihan kalau dikatakan bahwa tersebar luasnya Islam di Indonesia sebagian
besar adalah karena jasa para Sufi.[1] Akan tetapi belakangan ini, sufisme yang
melandasi ethos kerja mereka itu, kelihatannya hamper terlupakan, kecuali di
kalangan tertentu saja.
Menelusuri mewabahnya aliran ini di Indonesia, maka hal ini
tidak lepas dari pada peran andil orang-orang yang melakukan study ( belajar )
ke negara Timur tengah. Lebih khusus lagi adalah Arab Saudi yang pada waktu itu
belum diwarnai dengan gerakan tajdid (pembaharuan) yang dipelopori oleh Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab ( Beliau lahir pada tahun 1115 H / 1695 M dan
meninggal pada tahun 1206 H / 1786 M ). Diantara para pelopor berkembangnya
aliran tasawuf di Indonesia, sebagaimana yang disebutkan dibeberapa literatur
diantaranya adalah : Nuruddin Ar Raniri ( wafat tahun 1658 M ),Abdur Rouf As
Sinkili (1615 -1693 M ), Muhammad Yusuf Al makkasary ( 1629-1699 M ).
Abdur Rouf As Sinkili setelah belajar beberapa lama kemudian
diangakat sebagai kholifah Tarekat Syatariyah oleh Muhammad Al Quraisy. Dirinya
kembali ke Aceh setelah gurunya meninggal . Keberadaanya di tanah Aceh cukup
dipandang oleh para penduduk bahkan dijadikan sebagai panutan dimasyarakat,
bermodal kepercayaan yang telah diberikan masyarakat kepadanya serta kegigihan
murid-muridnya, maka dengan mudahnya ia berhasil mengembangkan ajaran Thariqot
sufiyahnya dengan perkembangan yang sangat pesat hingga paham itu tersebar
sampai ke Minang kabau ( Sumatra Barat ). Salah satu murid Abdur Rouf as
Sinkili yang berhasil menyebarkan paham ini adalah Burhanuddin.[2]
Setelah meninggal kuburan Burhanuddin ini menjadai pusat
ziarah dimana para penziarah itu melakukan praktek peribadatan yang aneh.
Timbulnya aliran yang aneh ini menimbulkan pertentangan yang tajam, terutama
setelah beberapa orang yang datang dari Arab Saudi yang pada waktu itu sudah
terwarnai dengan aliran pembaharuan ( Ahlusunnah wal jama'ah ) yang dibawa oleh
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab . Pertentangan ini berlanjut yang pada akhirnya
pecah perang PADRI . Demikianlah jejak pemahaman yang ditinggalkan oleh As
Sangkili yang berkembang pesat ditanah Minang yang terkenal dengan religiusnya
itu.. As Sankili meningggal dan dikuburkan di Kuala, mulut sungai Kapuas.
Tempat tersebut kini menjadi tempat ziarah yang banyak dikunjungi banyak orang.
Sedang Muhamad Yusuf Al Makasary setelah bertemu dengan
gurunya yakni Syaikh Abu Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al Kholwati Al
Khurosy As Syami Ad Dimasqy, kemudian diberi otoritas untuk menjadi kholifah
bagi aliran Thariqot Kholwatiyah dan diberi gelar dengan Taj Al Kholwati (
Mahkota Kholwati ). Setelah kembali ke Aceh ia pun mulai mengembangkan paham
Kholwatiyah ditanah Rencong ini.
Adapun Nuruddin Muhammad bin Ali bin Muhammad Ar Raniri
masuk ketanah Aceh pada masa kekuasaan sultan Iskandar Muda. Pada masa itu yang
berperan sebagai mufti kerajaan adalah Syamsudi As Sumatrani, putra kelahiran
Aceh yang diberi gelar ulama' dan berpemahaman Sufi Wujudiyah. Dikarenakan
kedudukan yang disandangnya cukup strategis, maka dengan mudah ia mengembangkan
paham yang dianutnya itu. Syamsudin ini bekerjasama dengan Hamzah Fansuri,
seorang ulama' yang banyak mengekspresikan pemahamannya melalui keindahan kata
( prosa ).
Dan dari beberapa catatan literatur diperoleh informasi,
bahwa orang-orang Indonesia dan Melayu yang study di Timur Tengah, kemudian
pulang ke Nusantara dan menyebarkan ajaran tasawwuf (tarekat) masih banyak
lagi. Ada beberapa nama yang perlu di sebutkan disini mengingat keterkaitannya
dalam penyebaran tarekat di Indonesia yang hingga sekarang ajarannya masih
berujud. Mereka adalah Abdus Shomad al Palimbani dan Muhammad Arsyad al Banjari
(1710,1812 M). Nama terakhir ini termasuk yang mamapu merombak wajah Kerajaan
Banja di Kalimantan Selatan. Bahkan karya bukunya yang banyak dikaji di
beberapa wilayah Indonesia dan Asia Tenggara, Sabil Al Muhtadiin, kini
diabadikan sebagai nama masjid besar di Kota Banjar Masin.
Abdus Shomad al Palimbangi, Muhammad Arsyad al Banjary serta
dua rekan mereka, Abdul Wahab ( Sulsel ) dan Abdurrohman ( Jakarta ) merupakan
orang-orang Tarekat yang berguru kepada Syaikh Muhammad As Saman, selain itu
tersebut pula nam-nama lainnya sepeti Nawawi Al Bantani ( 1230 -1314 M ), Ahmad
Khotib As Sambasi, Abdul Karim Al Bantani , Ahmad Rifa'I Kalisasak, Junaid Al
batawy, Ahmad Nahrowi Al Banyumasi ( wafat 1928 M ), Muhammad Mahfudz At
Termasi ( 1842- 1929 M ), Hasan Musthofa Al Garuti ( 1852-1930 M )dan masih
bannyak lagi yang lainnya. Sebagian besar dari mereka pulang kembali dan
menyebarkan ajarannya di Indonesia .namun demikian, tidak semua orang yang
belajar ditanah Arab kembali dengan membawa ajaran baru atau terperangkap dalam
pemahaman tasawuf, Ahmad bin Khotib bin Abdul Latief Al Minangkabawi (
1816-1916 M ) adalah salah satu contohnya. Beliau inilah yang mula-mula berani
menyatakan pendiriannya membatalkan amalan-amalan ahli tarekat, terutama sekali
tarekat Naqsabandiyah yang selalu menghadirkan Syaikhnya dalam ingatan saat ber
"Tawwajjuh". Syaikh Ahmad bin Khotib memfatwakan kepada ummat untuk
kembali kepada ajaran Islam yang benar menurut Al Qur'an dan As Sunnah serta
menghindarkan diri dari perbuatan syirik dan mengharamkan penghadiran guru
ketika beribadah sebagaimana yang telah banyak dilakukan oleh para penganut
tarekat Naqsabandiyah. [3]
Dari
sekian banyak naskah-naskah lama yang berasal dari Sumatera, baik yang ditulis
dalam bahasa arab maupun bahasa melayu, adalah berorientasi sufisme. Hal ini
menunjukkan bahwa pengikut tasawuf menjadi unsur yang cukup dominan dalam
masyarakat pada masa itu. Kenyataan lain dapat pula ditunjuk bagaimana peranan
ulama dalam struktur kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam di Aceh sampai pada masa
Wali Songo di Jawa. Kepemimpinan raja atau sultan selalu didampingi dan
didukung kharisma ulama tasawuf.
Sejak
berdirinya kerajaan Islam Pasai, kawasan itu menjadi titik sentral penyiaran
agama Islam ke berbagai daerah di Sumatera dan pesisir utara pulau Jawa.[4]
Penyebaran Islam ke pulau Jawa , juga terutama atas jasa Maulana Malik Ibrahim,
Maulana Ishak dan Ibrahim Asmoro yang ketiganya adalah abituren Pasai. Melalui
keuletan mereka itulah berdirinya kerajaan Islam Demak yang kemudian menguasai
Banten dan Batavia melalui Syarif Hidayatullah.
Perkembangan Islam di Jawa untuk selanjutnya umumnya
digerakkan oleh ulama yang diketahui dan dikenal dengan panggilan Wali Songo.
Dari sebutan itu saja sudah cukup alasan untuk mengatakan bahwa mereka itu
adalah penghayat tasawuf yang sudah sampai derajat “wali”. [5]
Para wali
itu bukan saja berperan dalam menyiarkan islam, tetapi mereka juga ikut
berperan kuat pada pusat kekuasaan kesultanan, dan arena posisi itu mereka
mendapat gelar Susuhunan yang biasa disebut Sunan. Dari peranan politik itu,
mereka dapat “meminjam” kekuasaan sultan dan kelompok elit keratin dalam
menyebarkan dan memantapkan penghayatan islam sesuai dengan keyakinan sufisme
yang mereka anut.
Berikut
adalah ringkasan sejarah tentang perjalanan hidup Wali Songo dan Syeikh Siti
Jenar sebagai penganut tasawuf sekaligus yang menyebarkan ajaran tasawuf di Indonesia.
1. Syeikh Maulana Malik Ibrahim
Terkenal dengan sebutan Syeikh Maghribi, sebagian literature
menyebutkan beliau dari Gujarat, India. Syeikh Maulana Malik Ibrahim
diperkirakan datang ke gresik tahun 1404 M. Sifatnya yang lemah lembut, welas
asih dan ramah tamah kepada semua orang baik sesame muslim atau dengan non
muslim membuatnya terkenal sebagai tokoh masyarakat yang disegani dan
dihormati. Kepribadiannya yang baik itulah yang menarik hati penduduk setempat
sehingga mereka berbondong-bondong masuk islam dengan sukarela dan menjadi
pengikut beliau yang setia. Bila orang bertanya sesuatu masalah agama
kepadanya, beliau tidak mejawab berbelit-belit, melainkan dijawabnya dengan
mudah dan gambling sesuai pesan nabi yang menganjurkan agama disiarkan dengan
mudah, tidak dipersulit, umat harus dibuat gembira, tidak di takut-takuti.
2. Raden Rahmat
Terkenal
dengan nama Sunan Ampel, wali ini berasal dari kamboja, Indo-Cina. Sikap sunan
ampel terhadap adat istiadat lama sangat hati-hati, hal ini di dukung oleh
Sunan Grid an Sunan Drajat. Pendapat Sunan Ampel ini menginginkan Islam harus
disiarkan dengan murni dan konsekuen juga mengandung hikmah kebenaran yang
hakiki, sehingga membuat umat semakin berhati-hati menjalankan syariat agama
secara benar dan bersih dari segala macam bid’ah.
3. Sunan Makdum Ibrahim
Lebih dikenal dengan nama Sunan Bonang, beliau adalah anak
dari Sunan Ampel. Dalam berdakwah, Sunan makdum Ibrahim ini sering mengunakan
kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan
yang disebut Bonang. Karena beliau sering mengunakan Bonang untuk berdakwah,
maka masyarakat memberinya gelar Sunan Bonang.
4. Raden Paku
Terkenal
dengan sebutan Sunan Giri. Wali keempat dari Wali Songo ini berasal dari Blambangan.
Setelah berusia 16 tahun kedua pemuda itu belajar agama islam di Pasai dengan
Maulana Ishak dan termasuk belajar ilmu tasawuf dari ulama-ulama Iran, Baghdad
dan Gujarat yang banyak menetap di Pasai. Para guru itu member gelar Raden Paku
dengan Syekh Maulana Ainul Yaqin.
5. Syarif Hidayatullah
Wali
kelima dari Wali Songo ini kemudian terkenal dengan nama Sunan Gunung Jati.
Ayah Syarif Hidayatullah meninggal dunia ketika ia berusia dua puluh tahun dan
diangkat menjadi Raja Mesir tapi ia menolak dan kedudukan itu diberikan kepada
adiknya, Syarif Nurullah. Ia beserta ibunya kembali ke Jawa untuk berdakwah
sesudah berguru dengan ulama-ulama besar di Timur Tengah.
6. Jafar Sodiq
Lebih
dikenal dengan nama Sunan Kudus, sunan ini yang menyiarkan agama Islam di Jawa
Tengah di sebelah pesisir utara. Ja’far Sodiq adalah pengikut jejak Sunan
Kalijaga, dalam berdakwah menggunakan cara halus atau Tut Wuri Handayani. Adat
istiadat rakyat tidak ditentang secara frontal, melainkan diarahkan sedikit
demi sedikit menuju ajaran islami.
7. Raden Prawoto
Di
kalangan rakyat lebih dikenal dengan nama Sunan Muriapada, adalah wali ketujuh
dari Sembilan wali yang diangap sebagai pencipta gending Sinom dan Kinanti.
Cara ia menyiarkan agama adalah mendekati kaum dagang., nelayan dan pelaut. Ia
mempertahankan tetap berlangsungnya gamelan sebai satu-satunya kesenian jawa
yang sangat digemari rakyat dan digunakannya kesenian itu untuk memasukkan rasa
Islam kepada rakyat, sehingga dengan tidak terasa rakyat itu dibawanya kepada
mengingat Tuhan.
8. Syarifuddin
Lebih
dikenal dengan nama Sunan Drajat (wali kedelapan) adalah putera Sunan Ampel
yang oleh rakyat dianggap pencipta gending Pangkur konon ia adalah seorang yang
sangat berjiwa social. Disamping ia taat menjalankan agama, ia selalu beramal untuk
member pertolongan dalam kesengsaraan umum, dan memperhatkan nasib anak-anak
yatim dan piatu dan membela orang-orang
sakit.
9. R.M. Syahid (Raden Said)
Dikenal dengan nama Sunan Kalijaga, konon ia adalah pencipta
wayang kulit, pengarang cerita-cerita wayang yang berjiwa islam. Sunan alijaga
berperan dalam pendiria masjid pertama di Tanah Jawa yakni Masjid Demak. Sunan
Kalijaga dianggap ulama yang menentukan kiblat Masiid Demak agar sesuai
menghadap Ka’bah. Masjid ini menjadi pusat agama terpenting di Jawa dan
memainkan peran besar dalam upaya menuntaskan islamisasi di seluruh Jawa,
termasuk daerah-daerah pedalaman.
10. Syekh Siti Jenar
Dikenal
dengan banyak nama seperti Sitibirit, Lemahbang, dan Lemah Abang. Pemikiran
Syekh Siti Jenar dianggap amat liberal dan controversial, Syekh Siti Jenar
dinilai melawan arus besar keagamaan yang dibangun oleh kolaborasi kekuasaan
(kerajaan Demak Bintara pimpinan Raden Fatah) dan elite agamawan terdiri dari
Wali Songo. Syekh Siti Jenar memiliki berbagai macam macam persamaan dan
perbedaan dengan Wali Songo. Kendati begitu mereka sesungguhnya dikembangkan
dan dianut oleh Wali Songo.
2.2 Reformasi Sufisme
di Indonesia
Demikianlah pengaruh gerakan wahabiyah yang diinspirasikan
oleh ajaran Ibnu Taimiyah, sampai juaga di Indonesia. Khusus dalam aspek
sufisme, pada permulaan tahun 50-an, Hamka melalui bukunya "tasawuf
perkembangan dan pemurniannya”serta”tasawuf modern”, berusaha memperlihatkan
bahwa tasawuf yang benar itu adalah yang tetap berakar pada prinsip tauhid,
yakni Tuhan hanya satu. Artinya, bertasawuf adalan mengisi diri dengan
sifat-sifat kesempurnaan Allah, mengidentifikasi diri dengan sifat-sifat
ilahiyah, “al-ittishaf bi shifat ar-Rahman ala thaqatiil basyariyah”.
Bertasawuf bukan berarti menolak hidup (duniawi), tetapi bertasawuf harius
tetap meleburkan diri dalam gelanggang kehidupan masyarakat luas, seperti
kehidupan biasanya.
Sejarah dengan gagasan Hamka ini, Nahdlatul Ulama (NU)
sebagai organisasi Islam yang menganut paham ahlussunnah wal jamaah (aswaja),
adalah pendukung dan penghayat tasawuf. Untuk menghindari penyimpangan sufisme
dari garis lurus yang meletakkan parasyeikh sufi terdahulu, maka NU meletakkan
dasar-dasar tasawuf jamaahnya sesuai denagn khittah aswaja. Dalam hal ini, NU
membina keselarasan antara tasawuf al-Ghazali dengan tauhid Asyariyah dan
Maturidiyah serata hukum fiqh esuai dengan salah satu mazhab sunni yang empat.
Sedangakan dalam aspek tarekat sebagai aspek lembaga, NU juga mamiliki lembaga
yang diberi nama “jamiyah thariqah mu’tabarah”, yang bersumber pada tasawuf
Junaid al-Baghdadi. Hal ini berarti, bahwa tarekat yang diakui sah oleh NU hany
atrekat yang sudah diakui baik dan benar oleh syeikh-syeikh tarekat sedunia,
yang disebut seabagai tarekat al-Mu’tabarah yang sesuai dengan prinsip-prinsip
Aswaja. Dengan demikian, bagi NU ,menganut tasawuf adalah yang sejalan dengan
taswuf Sunni, dan menolak tasawuf Syi’i.
Selain dari pada itu, dalam pandangan jamaah ini, sufisme
sebagi salah satu tradisi keilmuwan dan gaya keberagamaan umat Islam, adalah
warisan yang sangat berharga dari masa lampau yang harus dilestarikan sejauh
mengkin tanpa menutup pertumbuhan kreativitas individual. Tradisi merupakan
persambungan atau kontinuitas masa lampau deagan masa kini, yang tidak dapat begitu
saja diputuskan tanpa menimbulkan akibat-akibat yang merugikan individu dan
masyarakat. Tradisi keilmuwan itu, yakni sufisme yang melahirkan suatu sikap
yang menekankan keterpautan dimensi rasional dan dimensi spiritual, dimensi
duniawi dan dimensi ukhrawi dalam kehidupan manusia, adalah suatu kenyataan
yang tidak bisa ditolak.
Dengan demikian, maka taswuf yang berkembang pada masa awal
itu dinominasi oleh tasawuf dengan aliran Sunni. Kalaupun ada penganut tasawuf
aliran falsafi, tidak begitu luas dan bahkan mendapat perlawanan dari pengikut
Sunni. Oleh karena itu tasawuf di Indonesia sejalan dan sedarah daging drengan
mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dalam perkembangan sufisme di Indonesia,
pengaruh al-Ghazali as-Syafi’I lebih besar dari pada pengaruh al-hallaj dari
mazhab Syfi’i. bahakan pada masa kerajaan Islam Pasai, telah ada orang Jawa
mengajartasawuf di Mekkah, yaitu Syeikh Abu Abdullah Mas’ud bin Abdullah Jawi.
Namun agaknya masih perlu dicatat, bahwa perkiraan ini belum berarti akan
meneruskan jalan kea rah penelusuran perkembangan tasawuf di Indonesia. Sampai
sekarang, nampaknya masalah ini belum tuntas yang mengakibatkan timbulnya
anggapan yang memepersamakan tasawuf dengan tarekat.
2.3 Aliran Tasawuf di
Indonesia
Untuk menelusuri aliran-aliran tasawuf yang berkembang di
Indonesia, dapat dilakukan dengan melihat kembali konsep-konsep tasawuf yang
berkembang pada kurun waktu kerajaan-kerajaan Islam di wilayah Aceh. Dan dalam
perkembanagn Isalam selanjutnya, sistem peninggalan masyarakat hindu budha
diterusakan oleh penyiar Islam. Proses transformasi (alih pengetahuan) ilmu
keislaman dilakukan secara”sorogan” yang kemudian meningakat secara “bandongan”
dan “wetonan”. Dari embrio model ini, kemudian bermunculan model pendidikan
islam yang dikenal sebagai pesantren dan tarekat sebagai lembaga tasawuf.
Dengan semakin kuatnya pengaruh madzhab Syafi’I, maka sufisme yang dipelajari
dipesantren adalah tasawuf Sunni yang bersumber dari tasawuf al-Ghazali. Lain
halnya denagn tarekat, tasawuf yang di ajarkan kelihatannya merupakan gabungan
dari tasawuf sunni dan tasawuf falsafi.
Sampai di sini terungkaplah suatu kejelasan, terutama bagi
yang ingin mendalami tasawuf, dapat memiliki antara dua kemungkinan, yakni
apakah tasawuf dilihat sebagai suatu aspek ilmu yang mandiri ataukah sebagai
suatu tarekat yang melembaga? Apabila pilihan jatuh pada yang pertama, maka
mulailah dengan tasawuf akhlaki, dan meningakt ke tasawuf amali dan tasawuf
falsafi, jangan sebaliknya, dan dengan satu ketentuan harus didahului dengan
pemahaman syariat. Bagi mereka yang akan memilih alternative kedua, tinggal
memilih karakter yang disukai, karena pada prinsipnya semua tarekat hampir sama
sisitemnya. Terlepas dari aliran mana yang dianut, dan atukah penyiar islam
generasi awal itu penganut tasawuf sebagai aktifitas perorangan atau tarekat
sebagai lembaga, tetapi yang jelas keberhasilan mereka itu sangat didukung oleh
kedalaman penghayatan spiritual mereka terhadap semua aspek ajaran Islam melalu
pendekata esoteric, sehingga menumbuhkan etos kerja yang tanpa pamrih.
Untuk mengaktualkan
sufisme melalui lembaga pendidikan formal, adalah suatu kebijakan yang perlu
ditingkatkan. Sebab, apabila dilihat dari sejarah kehidupan spiritual Islam,
suasana ketasawufan telah lama mandek, seperta halnya filsafat Islam. Akhirnya,
apabila dilihat dari aspek material dan aspek formalnya yang dikaitkan dengan
kegersangan spiritual dewasa ini, kiranya pembakuan cabang-cabang sufisme
berdasarkan tujuan yang ingin dicapai adalah pemurnian dan kekuatan rohani, peningkatan
intensitas dan kualitas ibadah dan pendalaman kesadaran spiritual, dipandang
lebih tepat, maka tasawuf ahlaki, tasawuf amali, dan tasawuf falsafi, adalah
cabang-cabang sufisme yang penting dan relevan untuk dikembangkan di nusantara
ini. Khusus tasawuf falsafi tetap berposisi strategis, terutama dalam rangka
pendalaman dan penghalusan kesadaran spiritual keagamaan yang kelihatannya
semakin menipis. Di sisi lain, dengan mendalami sufisme aliran ini, sangat
berkemungkinan akan dapat diantisipasi dan dikontrol perkembangan spiritual non
agama dan atau aliran kepercayaan.
2.4 Tokoh-tokoh
Tasawuf di Indonesia
1. Hamzah al-Fansuri
Hampir semua penulis sejarah islam mencatat bahwa Syaikh
Hamzah al-Fansuri dan Muridnya Syaikh Samsuddin al-Sumatrani termasuk tokoh
sufi yang sepaham dengan al-Hallaj. Paham hulul, ittihad, mahabbah, dan
lain-lain adalah seirama. Tahun dan tempat kelahiranya hingga kini masih belum
diketahui. Ketidakjelasan riwayat al-Fansuri ini disebabkan tidak dimasukkannya
nama al-Fansuri dalam dua sumber penting sejarah Aceh, yakni Hikayah Aceh dan
Bustan al-Salatin yang ditulis atas perintah sultan.
Pemikiran-pemikiran al-Fansuri tentang tasawuf banyak
dipengaruhi Ibnu Arabi dalam paham wihdatul wujud-nya. Sebagai seorang sufi ia
mengajarkan bahwa Tuhan lebih dekat daripada leher manusia itu sendiri, dan
bahwa tuhan tidak bertempat, sekalipun sering dikatakan bahwa ia ada
dimana-mana. Ia menolak ajaran pranayama dalam agama Hindu yang membayangkan
Tuhan berada dibagian tubuh tertentu, seperti ubun-ubun yang dipandang sebagai
jiwa dan dijadikan titik kosentrasi dalam usaha mencapai persatuan.
Di antara ajaran al-Fansuri yang lain berkaitan dengan
hakikat wujud dan penciptaan. Menurutnya wujud itu hanyalah satu walaupun
klihatan banyak. Dari wujud yang satu ini ada yang merupakan kulit (kenyataan
lahir), dan ada yang berupa isi (kenyataan batin). Semua benda yang ada
sebenarnya merupakan menifestasi dari yang haqiqi yang disebut al-Haq Ta’ala.
Ia mewujudkan wujud Tuhan bagaikan lautan dalam yang tak bergerak, sedangkan
alam semesta m erupakan gelombang lautan wujud Tuhan. Penggalian dari Dzat yang
mutlak ini diumpamakan gerak ombak yang menimbulkan uap, asap, awan yang
kemudian menjadi dunia. Itulah yang disebut ta’ayun dari dzat yang la ta’ayun.
Itu pulalah yang disebut tanazul. Kemudian segala sesuatu kembali lagi kepada
Tuhan yang digambarkan bagaikan uap, asap, awan lalu hujan dan mengalir
kesungai yang kemudian kembali lagi ke lautan.[6]
2. Syamsuddin al-Sumatrani
Syamsuddin al-Sumatrani merupakan tokoh sufi kenamaan di
Aceh. Ia adalah murid Hamzah al-Fansuri yang mengajarkan wujudiyyah. Ia hidup
pada masa kejayaan kesultanan Aceh di bawah kekuasaan Sultan Iskandar Muda,
atau yang disebut juga Mahkota Alam (1607-1636 M). Seperti halya Hamzah
al-Fansuri, Syamsuddin juga mendapatkan kedudukan penting disisi Sultan. Ia
meninggal pada tahun 1630 M.
Dalam pemikiran tasawufnya Syamsuddin al-Sumatrani membahas
tentang Martabat Tujuh dan dua puluh sifat Tuhan. Konsep Martabat Tujuh ini
pertama kali dicetuskan oleh Muhammad Ibn Fadlullah al-Burhanpuri seorang ulama
kelahiran India. Konsep ini mengajarkan bahwa segala sesuatu yang ada dialam
semesta termasuk manusia adalah aspek lahir dari hakikat yang tunggal, yaitu
Tuhan. Tuhan bagian yang mutlak tidak dapat dikenal oleh akal, indra maupun
khayal. Dia dapat dikenal setelah bertajalli sebayak tujuh martabat sehingga
tercipta alam semesta beserta isinya, termasuk manusia sebagai aspek lahir dari
Tuhan.
Diantara ajarannya adalah bahwa Tuhan saja yang wujud. Hal
ini didasarkan pada ayat al-Qur’an yang berbunyi:
هوالاولوالأخروالظاهروالباطن
“ Dialah yang awal, yang akhir, yang dzahir (tampak), dan
yang bathin (tersembunyi)...”
Menurutnya, yang al-awwal adalah martabat ahadiyyah, yang
al-akhir adalah martabat wahidiyyah, yang al-batin adalah martabat wahdah
sedangkan yang al-dzahir adalah martabat-martabat alam al-arwah, alam
al-mitsal, alam al-ajsam dan alam al-insan.
Konsep Martabat Tujuh cenderung berhubunga dengan teori
tanazzul dalam tasawwuf. Tanazzul diartikan sebagai turunnya wujud dengan
penyingkapan Tuhan dari kegaiban ke alam penampakan melalui berbagai tingkat
perwujudan. Martabat Tujuh yang telah memasuki Nusantara melalui alam pikiran
pada sufi Aceh abad ke-17 merupakan pengembangan paham penghayatan union-mistik
dari ajaran al-Halajj dan Ibn-Arabi, atau sebagai hasil pengembangan dari
konsep tajalli Ibn Arabi dan al-Jilli, dengan beberapa modifikasi, akan tetapi
konsep pemikiran tentang ketujuh martabat itu merupakan hal yang baru, yang tidak
dijumpai dalam konsep-konsep pemikiran sebelumnya.[7]
3 Nuruddin
al-Raniri
Nama lengkapnya adalah Nur al-Din Muhammad ibn Ali ibn
Hasanji ibn Muhammad al-Raniri. Silsilah keturunan al-Raniri ini berasal dari
India, keturunan Aceh. Dipanggil al-Raniri karena dilahirkan di daerah Ranir
yang terletak dekat Gujarat, India pada tahun yang tidak diketahui. Ia
meninggal pada 22 Dzulhijjah 1096 H/21 September 1658 M di India. Pendidikannya
dimulai denagn belajar di tempat kelahirannya, kemudian dilanjutkan di Tarim.
Dari kota ini ia kemudian pergi ke Makkah pada tahun 1030 H/1582 M untuk
melaksanakan ibadah haji dan ziarah ke Madinah.
Menurut R. Hoesain Djajadiningrat, Nuruddin untuk pertama
kalinya berada di Aceh pada nasa Sultan Iskandar Muda. Kemudian ia meninggalkan
Aceh karena tidak mendapat perhatian dari Sultan yang berkuasa ketika itu. Pada
masa Iskandar Tsani, ia kembali lagi ke Aceh dan menetapdari tahun 1637-1644 di
bawah perlindungan Sultan. Ketika berada di Aceh untuk yang kedua kalinya, ia mendapat
tempat di istanadan banyak menghasilkan tulisanyang khusus mengecam dan
mengkafirkan penganut ajaran Syamsuddin dan Hamzah al-Fansuri.
Syaikh Nuruddin al-Raniri juga sering dikenal sebagai
seorang Syaikh dalam tarekat Rifa’iyah yang didirikan oleh Ahmad Rifa’i (w.
578H/1181M). Alraniri ditunjuk oleh Ba Syaiban sebagai khalifah dalam tarekat
Rifa’iyah, dan karenya bertanggung jawab untuk menyebarkan di wilayah
Melayu-Indonesia. Kendati al-Raniri dianggap sebagai khalifah tarekat
Rifa’iyah, tetapi tarekat ini bukanlah satu-satunya tarekat yang dikaitkan
dengan beliau. Ia juga mempunyai silsilah inisiasi dari tarekat Aydrusiyah dan
Qadariyah.
Pemikiran-pemikiran tasawuf Nuruddin al-Raniri banyak
diterima dan dipelajari oleh Sultan Iskandar Tsani sehingga kebijakan Nuruddin
mengeluarkan fatwa kufur kepada pengikut Wujudiyyah ternyata didukung oleh
Sultan. Di antara dalil yang diajukan sebagai kalim pembenaran kepercayaan
wujudiyyah yang mereka yakini, misalnya dengan mengutip ayat-ayat mutasyabihat,
yang berbunyi:
اناللهوانااليهراجعون
“...Sesungguhnya kami milik Allah, dan kepada-Nya kami
kembali”
Menurut pendapat Nuruddin ayat itu telah ditafsirkan oleh
kaum wujudiyyah secara salah, yaitu bahwa alam dan isinya atau insan keluar
dari Allah dan kembali kepada-Nya. Yng dimaksud dengan kata keluar dan kembali
adalah seperti keluarnya seseorang dari rumahnya dan pulang kembali masuk
kerumahnya, dan juga seperti ditamtsilkan biji yang keluar dari pohon kayu atau
seperti air sungai yang bersal dari lautan dan akan kembali lagi kelaut.
Selanjutnya juga tentang firman Allah SWT yang berbunyi:
ونØناقرباليهمنØبلالوريد
“..Dan Kami lebih dekat kepadanya (manusia) daripada urat
lehernya”
Kaum wujudiyyah memaknai ayat sebagai kami telah dekat-yakin
bercampur dengan mesrah, serta bersatu wujud Allah dengan insan-dari pada urat
lehernya. Begitu njuga ayat yang berbunyi:
وكاناللهبكلشيءمØيطا
“... Dan adapun Allah meliputi segala sesuatu”
Maksud ayat ini menurut kaum wujudiyyah, bahwa Dzat Allah
meliputi segala sesuatu, sewujud bercampur dan mesra dengan seluruh alam.
Artinya Allah yang meliputi dan alam yang diliputi, merupakan suatu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan. Inilah yang dikatakan Hamzan al-Fansuri dalam
kitab Ruba’i-nya.
Itulah diantara alasan-alasan kaum wujudiyyah. Semua alasan
dan pendirian yang dikemukakan oleh kaum wujudiyyah ditentang keras oleh
Nuruddin al-Raniri. Ia menilai alasan-alasan tersebut sebagai suatu pendirian
yang tidak benar. Ia melihat makna wahda al-wujud yang telah ditafsirkan secara
salah dan dijadikan dasar akidah mereka tentang hubungan Allah dengan alam atau
manusia. Dalam hal ini menentang kambali para ahli kalam ahlusunnah dan kaum
sufi tenatang istilah makna tersebut.
Dalam Itikad ahlusunnah, wujud itu ada dua macam, pertama
wujud yang wajib adanya dan tidak mustahil adanya. Kedua, wujud yang mungkin,
baik ada maupun tidak tetap sama tingkatannya. Wujud Allah adalah wujud wajib,
sedangkan wujud alam adalah wujud yang mungkin, yang tidak harus ada. Oleh
karena itu, wujud Allah dan wujud alam adalah berbeda secara hakiki sehingga
mempersamakan kedua wujud inidala satu tingkatan adalah sesat dan kufur.
Syaikh Nuruddin menyanggah penafsiran ayat mutasyabihat yang
berbunyi:
Bahwa Allah yang keluar dari Allah dan akan bersatu kembali
dengan-Nya. Jika demikian, Allah itu merupakan jasmani seperti benda di bumi
ini. Menurut Nuruddin, penafsiran yang benar sebagaimana yang dikatan oleh para
ahli tafsir bahwa segala amal perbuatan manusia kembali pada hukum Allah, jika
baik ia akan masuk surga dan jika jahat ia akan masuk neraka.
Syaikh Nuruddin juga menolak arti muhith yang diberikan oleh
kaum wujudiyyah yang menafsirkan lafadz tersebut dengan sebagai tafsiran yang
sesat dan salah. Sebagai biasanya ia kembali mengutip perkataan para ahli
tafsir dan sufi tentang maksud lafadz tersebut. Menurt para ahli tafsir dan
para sufi yang dimaksud muhith adalah bahwa ilmu dan qudrat Allah menjangkau
segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, dan tidak sesuatupun yang luput
dan ilmu-Nya karena segala sesuatu terjadi berkat limpahan nur wujud-Nya.
Mengenai ayat-ayat mutasyabihat yang digunakan sebagai dalil
kebenaran kaum akidah wujudiyyah, Nuruddin menjelaskan pendirian para ulama’
baik yang salaf maupun yang khalaf dalam menafsirkan ayat tersebut. Para
ahlusunnah wal jama’ah dan para sufi mengatakan bahwa para sufi setiap mukmin
wajib beriman pada ayat-ayat mutasyabihat, tetapi ia harus menyerahkan makna
hakiki ayat-ayat tersebut pada Allah.
Pemikiran tasawuf Nuruddin al-Raniri mempunyai pengaruh
besar dalam pemikiran tasawuf di Melayu-Indonesia. Dengan mengenalkan dan
menyebarkan penafsiran islam yang dipegang aliran utama kaum ulama dan sufi di
pusat-pusat keilmuan islam. Meskipun pemikiran tasawuf al-Raniri terkesan sanga
luas, tetapi sesungguhnya pemikirannya dapat dikalsifikasikan sebagai berikut:
Pertama, tentang Tuhan. Pendirian al-Raniri dalam masalah
ketuhanan pada umumnya bersifat kompromif. Ia berusaha menyatukan faham
mutakallimin dengan faham para sufi yang diwakili Ibn ‘Arobi. Pandangan
al-Raniri ini hampir sama dengan pandangan Ibn Arabi, yakni alam ini merupakan
tajalli Allah. Namun, penafsirannya di atas membuatnya terlepas dari label
pantheisme Ibn Arabi.
Kedua, tentang alam. Al-Raniri berpendapat bahwa alam ini
diciptakan Allah melalui tajalli. Ia menolak teori al-faidh al-Farabi karena
akan membawa pengakuan bahwa alam in i qadimsehingga jatuh dalam kemusyrikan.
Alam dan falak, merutnya merupakan wadah tajalli asma dan sifat Allahdalam
bentuk konkret.
Ketiga, tentang manusia. Al-Raniri berpendapat bahwa manusia
merupakan makhluk Allah yang paling sempurna di dunia. Manusia merupakan
khalifah Allah di bumi yang dijadikan sesuai dengan citra-Nya. Manusia juga
merupakan madzhar. Konsep insan kamil pada dasarnya hampir sama dengan yang
digariskan oleh Ibn Arabi.
Keempat, tentang wujudiyyah. Al-Raniri berpendapat bahwa
inti dari ajaran wujudiyyah berpusat pada wahdah al-wujud, yang disalah artikan
kaum wujudiyyah menjadi kemanunggalan Allah dengan alam. Menurut al-Raniri,
jika benar Tuhan dan makhluk habitatnya satu, dapat dikatakan bahwa manusia
adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia sehingga akhirnya seluruh makhluk adalah
Tuhan.
Kelima, tentang hubungan syariat dan hakikat. Al-raniri
berpendapat bahwa pemisahan antara syariat dan hakikat merupakan suatu yang
tidak benar. Ia lebih menekankan syariat sebagai landasan esensial dalam
tasawuf.[8]
4. Syeikh Abdur Rauf Al- Sinkili
Beliau adalah seorang ulama dan mufti besar Kerajaan Aceh
pada abad ke 17 (1606-1637). Nama lengkapnya adalah Syeikh Abdur Rauf bin Ali
Al-Fansuri. Sejarah teah mencatat bahwa As-Sankli merupakan murid dari dua
orang ulama sufi yang menetap di Mekah dan Madinah. Sebelum As-Sankili membawa
ajaran tasawufnya, di Aceh telah berkembang ajaran tasawuf Falsafi, yaitu
tasawuf wujudiyah yang kemudian dikenal dengan nama wahdad Al-Wujud. As-Sankili
berusaha merekonsiliasi antara tasawuf dan syari’at. Ajaran tasawufnya sama
dengan Samsuddn dan Nuruddin yaitu menganut paham satu-satunya wujud Hakiki,
yakni Allah. Alam dan manusia ciptaan-Nya bukanlah merupakan wujud yang hakiki,
tetapi bayangan dari yang hakiki.[9]
5. Syikh Yusuf Al-Makasari
Beliau adalah seorang tokoh sufi agung yang berasal dari
Sulawesi. Ia dilahirkan pada tanggal 8 Syawal 1036 H atau bersamaan dengan 3
Juli 1629 M, yaitu ketika Sulawesi baru saja kedatangan tiga orang penyebar
islam yaitu Datuk Ri Bandang dan Kawan-kawannya dari Minangkabau. Dalam salah
satu karangannya dia menulisbelakang namanya dengan bahasa Arab “Al Makasari”,
yaitu nama kota di Sulawesi Selatan (Ujung Pandang).[10]
Berbeda dengan kecenderugan sufisme pada masa-masa awal yang
mengelakkan kehidupan duniawi Syeikh Yusuf mengungkapkan paradigma Sufistiknya
bertolak dari asumsi dasar bahwa ajaran Islam meliputi dua aspek, yaitu aspek
lahir (syari’at) dan aspek batin (hakikat). Syari’at dan hakikat harus
dipandang dan diamalkan sebagai suatu kesatuan.[11]
Meskipun berpegang teguh pada transedensi Tuhan, ia meyakini
bahwa Tuhan melingkupi segala sesuatu dan selalu dekat dengan sesuatu.
Berkenaan dengan cara-cara menuju Tuhan, ia membaginya dalam tiga tingkatan.
Pertama, tingkatan akhyar (orang-orang terbaik) yaitu degan memperbanyak
shalat, Puasa, membaca Al-Qur’an, naik Haji, dan berjihad di jalan Allah.
Kedua, cara MUjahadat Asy-Syaqa’ batin denga(orang-orang yang berjuang melawan
kesulitan), yaitu latihan batin yang keras untuk melepaskan perilaku buruk dan
menyucikan pikiran dan batin dengan lebih memperbanyak amalan batin dan
melipatgandakan amalan-amalan lahir. Ketiga cara ahli ad-dzikir, yakni jalan
bagi orang yang telah kasyaf untuk berhubungan dengan Tuhan, yaitu orang-orang
yang mencintai Tuhan, baik lahir maupun batin. Mereka sangat menjaga
keseimbangan kedua aspek ketaatan itu.[12]
2.5 Hubungan Tarekat dengan Tasawuf
Di dalam ilmu tasawuf, istilah tarekat itu tidak saja
ditujukan pada aturan dan cara-cara tertentu yang digunakan oleh seorang syeikh
tarekat dan bukan pula terhadap kelompok yang menjadi pengikut salah
seorangsyeikh tarekat, tetapi meliputi segala aspek ajaran yang ada di dalam
agama Islam, seperti sholat, zakat, puasa dan haji yang semuanya itu merupakan
jalan atau cara mendekatkan diri kepada Allah SWT. [13]
Sebagaimana telah diketahui bahwa tasawuf itu secara umum
adalah usaha menddekatkan diri kepada Allah dengan sedekat mungkin , melalui
penyesuaian rohani dan memperbanyak ibadah. Usaha mendekatkan diri ini biasanya
dilakukan dibawah bimbingan seoraang syeikh/guru. Ajaran-ajaran tasawuf yang
harus ditempuh untuk mendekatkan diri itu kepada Allah merupakan hakikat
tarekat yang sebenarnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bahwa tasawuf
adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah sedangkan tarekat adalah cara dan
jalan yang ditempuh seseorang dalam usahanya mendekatkan diri kepada Allah.
2.6 Sejarah Timbulnya Tarekat
Ditinjau dari segi historisnya, kapan dan tarekat mana yang
mula-mula timbul sebagai suatu lembaga, sulit diketahui dengan pasti.[14] Namun
Harun Nasution menyatakan bahwa setelah Al-Ghazali menghalalkan tasawuf yang
sebelumnya dikatakan sesat, tasawuf berkembag di dunia Islam, tetapi
perkembangannya melalui tarekat. Taekat adalah organisasi dari pengikut
sufi-sufi besar yang bertujuan untuk melestarikan ajaran-ajaran Tarekat ini
tasawuf . Tarekat ini memakai suatu tempat pusat kegiatan yang disebut ribat
(disebut juga zawiyah, hangkah atau pekir). Ini merupakan tempat para murid
berkumpul melestarikan ajaran-ajaran tasawufnya, ajaran tasawuf walinya, dan
ajaran tasawuf Syaikhnya.[15]
Pada awal kemunculannya, tarekat berkembang dari dua daerah
yaitu Khurasan (Iran) dan Mesopotamia (Irak). Pada periode ini mulai muncul
beberapa, dianataranya:
1. Tarekat
Yasaviyah yang didirikan oleh Ahmad Al-Yasavi (wafat 562H/1169) dan disusul
oleh tarekat Khawajagawiyah yang disponsori oleh Abd Al-Khaliq Al-Guzdawani
(wafat 617 H/1220 M). Kedua taekat ini menganut paham tasawuf Abu Yazid
Al-Bustami (wafat 425 H/1034 M) dan dilanjutkan oleh Abu Al-Farmadhi (Wafat 477
H/1084 M) dan Yusuf Bin Ayyub Al-Hamadani (wafat 535 H/1140 M).[16] Tarekat in
berkembang di berbagai daerah, antara lain Turki.
2. Tarekat
Naqsabandiyah, yan didirikan oleh Muhammad Bahudidin n-Naqsabandani Al-Awisi
Al-Bukhari (wafat 1389 M) di Turkistan. Dalam perkembangannya tarekat ini
menyebar ke Anatolia (Turki) kemudian meluas ke India dan Indonesia dengan
berbagai nama baru yang disesuikan dengan pendirinya daerah tersebut, seperti
Tarekat Khalidiyah, Miradiyah, Mujadidiyah, dan Ahsaniyah.[17]
3. Tarekat
Khalwatiyah yang didirikan oleh Umar Al-Khalwati (wafat 1397 M). Tarekat
Khalwatiyah adalah salah satu tarekat yan terkenal berkembang di berbagi negeri
seperti Turki, Siria, Mesir, Hijaz, dan Yaman.
Tarekat Khalwatiyah pertama kali muncul di turki dan didirikan oleh Amir
Sultan (wafat 1439 M).[18]
4. Tarekat
Safawiyah yang didirikan oleh Safiyudin Al-Ardabili (wafat 1334 M).
5. Tarekat
Bairamiyah yang didirikan oleh Hijji Bairan (wafat 1430).
Di daerah Mesopotamia masih banyak tarekat yang muncul dalam
periode ini dan cukup terkenal, tetapi tidak termasuk rumpun Al-Junaid.
Tarekat-tarekat ini antara lain:
1. Tarekat
Qodariyah yang didirikan oleh Muhy Ad-Din Abd Al-Qadir Al-ailani (471 H/1078 M)
2. Tarekat
Syadziliyah yang dinisbatkan kepada Nur Ad-Din Ahmad Asy-Syadzili (593-656
H/1196-1258 M)
3. Tarekat
Rifa’iyah yang didirikan oleh Ahmad Bin Ali Ar-Rifa’I (1106-1182). [19]
Tarekat yang tergolong dalam kelompok Qodariyah ini cukup
banyak dan tersebar ke seluruh negeri Islam. Tarekat Faridiyah di Mesir yang
disisbathkan kepada Umar bin Al-Farid (1234 M) yang mengilhami tarekat
Sanusiyah (Muhammad bin Ali Al-Sanusi, 1787-1859 M) melalui tarekat Idrisiyah
(Ahmad Bin Idris) di Afrika Utara, merupakan kelompok Qadariyah yang masuk ke
India melalui Muhammad Al-Ghawthiyah atau Al-Mi’rajiyah dan di Turki
dikembangkan oleh Ismail Ar-Rumi (1042 H/1631M).[20]
2.7 Pengaruh Tarekat Di Dunia Islam
Dalam
perkembangannya, tarekat-tarekat itu bukan hanya memusatkan perhatian kepada
tasawuf ajaran-ajaran gurunya, tetapi juga mengikuti kegiatan politik.
[21]Tarekat mempengaruhi dunia islam mulai abad ke-13. Kedudukan tarekat pada
saat itu sama dengan parpol (Partai Politik). Bahkan banyak tentara yang juga
menjadi anggota tarekat.[22]
Tarekat-tarekat keagamaan meluskan pengaruh dan organisasinya ke seluruh
pelosok negeri, menguasai masyarakat melalui suatu jenjang yang terancang dengan
baik. Dan memberikan otonomi kedaerahan seluas-luasnya. Setiap esa atau
kelompok desa ada wali lokalnya yang didukung dan dimulyakan sepanjang
hidupnya, bahkan dipuja dan diagung-agungkan setelah kematiannya. [23]
Akan
tetapi , pada saat-saat itu telah terjadi “penyelewengan” di dalam
tarekat-taekat, antara lain penyelewengan yang terjadi dalam paham wasilah,
yakni paham yang menjelaskan bahwa permohonan seseorang tidak dapat dialamatkan
langsung kepada Allah, tetapi harus melalui guru, guru ke gurunya, terus
demikian sampai pada syaikh, baru dapat bertemu Allah atau berhubungan dengan
Allah.[24]
Tarekat
juga pada umumnya hanya berorientasi akhirat, tidak mementingkan dunia. Tarekat
menganjurkan banyak beribadah dan jangan mengikuti dunia ini karena “ Dunia ini
adalah bangkai dan yang mengejar dunia adalah As’ anjing.” Ajaran ini nampaknya
menyelewengkan umat islam dari jalan yang ditempuhnya. Demikian juga sifat
tawakal, menunggu apa aja yang akan datang, Qada’ dan Qadar yang sejalan dengan
paham As’ariyah . Para pembaharu dalam dunia islam melihat bahwa tarekat bukan
hanya mencemarkan paham tauhid, tetapi juga membawa kemunduran bagi umat
islam.[25]
2.8 Perkembangan
Tasawuf Masa Kini
Dalam dasawarsa terakhir ini, komunitas sufi mewarnai
kehidupan perkotaan. Tak sedikit dari kalangan eksekutif dan selebriti menjadi
peserta kursus atau terlibat dalam suatu kamunitas tarekat tertentu. Alasan
mereka mencebur kesana memang beraneka ragam. Misalnya, mengejar ketenangan
batin atau demi menyelaraskan kehidupan yang gamang.
Secara antoprologis, sufisme kota di kenal sebagai trend
baru di Indonesia sepanjang dua dekade ini. Sebelumnya, sufisme lebih dikenal
sebagai gejala beragama di pedesaan. Sufisme kota, kata Muslim Abdurrohman,
bisa terjadi minimal karena dua hal: pertama : hijrahnya para pengamal tasawwuf
dari desa ke kota, lalu membentuk jamaah atau kursus tasawwuf. Kedua : sejumlah
orang kota bermasalah tengah mencari ketenangan ke pusat-pusat tasawwuf di
desa. Adapun sufisme secara sederhana didifinisikan sebagi gejala minat
masyarakat pada tasawwuf. Sufisme adalah istilah yang popular dalam literatur
barat (Sufism), sedangkan dalam literatur arab dan indonesia hingga 1980-an
adalah tasawwuf.
Derektur Tazkia Sejati Jalaluddin Rakhmat, berpendapat bahwa
sufisme diminati masyarakat kota sebagai alternatif terhadap bentuk-bentuk
keagamaan yang kaku. Sufisme juga menjadi jalan untuk pembebasan.
Azyumardi Azra, Rektor IAIN Jakarta, telah memetakan dua
model utama sufisme masyarakat kota dewasa ini. Pertama : sufisme kontemporer
(biasanya berciri longgar dan terbuka siapapun bisa masuk) yang aktivitasnya
tidak menjiplak model sufi sebelumnya. Model ini dapat dilihat dalam
kelompok-kelompok pengajian eksekutif, seperti Paramadina, Tazkia Sejati, Grend
Wijaya.dan IIMaN. Model ini pula yang berkembang di kampus-kampus perguruan
tinggi umum. Kedua : Sufisme konvesionel. Yaitu gaya sufisme yang pernah ada
sebelumnya dan kini diminati kembali. Model ini adalah yang berbentuk tarekat
(Qadiriyah Wa Naqsabandiyah, Syatariyah, syadzziliyah, dan lain-lain), ada juga
yang nontarekat (banyak di anut kalangan Muhammadiyah yang merujuk tasawwuf
Buya Hamka dan Syekh Khatib al-Minangkabawi).
Asep Usman Ismail, kandidat doktor bidang tasawwuf dari IAIN
Jakarta, menilai bahwa tasawwuf model tarekat lebih di terima di kalangan
menengah kebawah. Sementara kalangan menengah keatas cenderung memilih tasawwuf
nontarekat".
"Tasawwuf yang diminati masyarakat kota jelas model
tarekat" kata Asep. Mereka tidak berorientasi pada tasawwuf klasik,
seperti model tarekat dengan segala riyadhonya (pelatian). Itu tidak di minati
kecuali tarekat yang bisa menyesuaikan dengan suasana perkotaan", ia
menambahkan.
Bentuknya tentu yang singkat, esensial, dan instant. Dunia
tasawwuf bagi masyarakat kota, semacam obat gigi "saya resah, saya
menemukan problem, saya setres, maka saya belajar tasawwuf agar memperoleh
ketenangan", ujar Asep, menirukan keluhan para pengikut tarekat di
kalangan perkotaan itu.
Asep juga menilai, dari lima komponen tarekat : mursyid,
murid, wirid, tata tertib, dan tempat, yang paling berat bagi masyarakat kota
adalah wirid dan tata tertib. Adapun tata tertib yang paling tidak masuk dalam
logika orang modern adalah baiat kesetiaannya kepada guru. "Mereka ingin
bebas tanpa baiat, dan tak mau terjebak kultus", kata Asep. Orang-orang
kota juga tidak berminat pada zikir yang panjang-panjang, apalagi harus
berpuasa.[26]
2.9 Kelompok
Pengajian Tasawuf
Banyak orang percaya bahwa manusia itu bisa bermesraan
dengan Tuhan. Dalam terekat hubungan semacam ini di sebut dengan Fana. Berikut
ini beberapa contoh kelompok pengajian sufi :
a. Yayasan Wakaf
Paramadina
Paramadina berdiri 31 oktober 1966 M. lembaga ini lebih
mirip kelompok diskusi. Sasarannya masyarakat menengah atas di Jakarta. Ini
sesuai dengan letak kantornya, di kawasan elite pondok Indah Plaza, Jakarta
selatan. Nur Cholis Majid pendirinya, sejak awal bermaksud mendirikan sebuah
kelompok yang terbuka. Persisi dengan karekter Nurcholis sendiri.
Untuk itu, Paramadina menawarkan paket kajian agama dengan
lingkup yang luas. Tapi, berdasar pengalaman, pelajaran tasawwuf lebih mengikat
anggota. Pesertanya rata-rata 40 orang. Namun kalau pas lagi membicarakan
tasawwuf, yang hadir sampai 120 orang. Mereka adalah (menyetir istilah
paramadina) "kelompok penentu kecenderungan". Mereka yang gandrung
sufi bisa ikut Paket Study Islam. Pertemuan berlangsung seminggu sekali,
dosennya berganti-ganti. Yang dibahas misalnya, pengantar study tasawwuf,
konsep insan kamil, dimensi mistik dan akhlak dalam islam. Namanya juga
diskusi, antara satu dosen dengan dosen yang lain sering berbeda. Misalanya,
ada yang pro tarekat, ada yang kontra. Lumrah.
Tasawwuf biasanya di ajarkan melalui tujuh pertemuan,
perjumpaan terakhir berisi pratikum, dipimpinAsep Usman Ismail. Semula,
praktikum itu berupa kunjungan kepondok Pesantren Suryalaya, jawa barat.
Berangkat sabtu pagi dan kembali ke Jakarta Minggu sore. Belakangan, karena
kesulitan teknis, guru-guru Suryalaya lah yang diundang ke paramadina.
Nurcholis mewanti-wanti, pelajaran tasawwuf tidak boleh
menjelma menjadi tarekat tertentu, "itu sudah menyimpang dari gaya
paramadina yang terbuka dan independent" katanya.
b. Majlis Taklim
Hajjah Henny
Meskipun jauh dari kota besar, H. Henny Uswatun Hasanah
berpikiran modern. Ia mendirikan kelompok sufi yang jauh dari kesan dekil.
Rumahnya lumayan bagus di desa Tegaltirto, Brebah, Sleman, Yogyakarta. Tempat
tingganya itu, selain buat pengajian, juga merangkap tempat usaha border dan
catering.
Jamaahnya mencapai 2.500 orang, dari semarang, Temanggung
serta Yogyakarta. Tiap sore, Henny selalau menerima tamu. Ada yang khusus
mengaji, tapi tak sedikit yang ingin berobat. Malam hari, bersama jamaahnya
Henny mengadakan salat tahajud. Setiap sabtu pahing siadakan pengajian rutin.
Khusus pada malam jum'at dilakukam kegiatan istighfar, mulai pukul 22.00 WIB
hingga subuh.
Kemampuan mengobati orang ini diperoleh Henny saat naik
haji. Ketika di Mekkah persisnya di dekat sumur Zam-zam, tiba-tiba dirinya
dirangkul seorang wanita. Wanita itu mengelus-elus kepala Henny. Lalu kepala
Henny di taruh dibawah ketiak wanita mestirius tersebut.
Kisah ghaib lain adalah kala Henny berada di Masjid Nabawi,
seusai sholat isya', dia melihat dua bulatan sinar keluar dari makam Nabi Muhammad
Sholallahu 'alaihi wasallam. "sejak itu, saya merasa bisa menolong
sesama", kata ibu lima anak itu. Dan terbukti kebenarannya, tentunya
dengan seizin Allah.
c. Tarekat
Naqsabandy Khalidiyah
Tarekat Naqsabandy sangat terkenal. Anggotanya puluhan ribu
orang dari Tulung agung, Blitar, Nganjuk, Surabaya, Malang, Semarang,Jakarta,
dan bahkan dari beberapa kota di Sumatra. Yang berminat menekuni naqsabandy
harus menghadap KH. Bastomi, pemimpin tarekat atau yang disebut mursyid itu.
Setelah pendaftar terkumpul dua ratus orang, mereka wajib
datang sesuai dengan waktu yang di tentukan. Jamaah baru itu digembleng selama
dua puluh hari. Peserta wajib mondok. Pengajian dimulai selasa pagi, diawalai
dengan pembaitan. Jamaah duduk tawaruk di sekeliling ruangan, sementara KH.
Bastomi berada paling depan. Satu persatu mereka bersumpah dengan bimbingan
mursyid. Selesai disumpah, jamaah harus mengikuti pengajian sufi setiap selasa
dan jum'at pagi.
Setelah tahu arti tarekat, jamaah membaca wirid Ismu Dzat
menurut tingkatan masing-masing. Ada tiga kelas, yang pemula membaca 5.000 kali
sehari, sedangkan yang paling senior sampai 9.000 kali. Mereka membaca dzikir,
tahlil, dan asmaul husna. Wirid dilaksanakan usai sholat fardhu.
Selama mondok peserta harus mengurangi tidur, tak bicara di
luar keperluan, tidak makan sesuatu yang berbahan dasar ikan atau binatang.
Lebih dianjurkan jika berpuasa, namun ini tak wajib. Nafsu sexsual harus di
kekang selama mengikuti acar, walaupun bercampur dengan istri sendiri. Setelah pemondokan
itu selesai, wirid wajib di baca di rumah masing-masing.
Kata KH Bastomi, wiridan merupakan cara mendekatkan diri
kepada Allah. Untuk itu peserta tarekat memenjarakan hawa nafsu duniawi dan
mengganti semua tujuan Ibadahnya untuk mencapai ridho Allah. Targetnya
muroqobah, yaitu dekat dengan Allah hingga tercabut hijab antara makhluq dan
kholiq", ujarnya. Inilah derajat tertinggi dari tarekat.
Pada tingkatan muroqobah itu, manusia merasa dirinya dekat
dengan Allah. Saking dekatnya, seolah roh Allah menyatu dalam diri manusia.
Inilah yang sering kali disebut al wihdatul wujud atau manunggaling kawula
gusti. Derajat tertinggi dari tarekat, terhubungnya manusia dengan Tuhan saat
berdzikir itu disebut fana.
Tarekat asuhan KH. Bastomi diikuti berbagai kalangan. Mulai
pedagang, pegawai, karyawan, para eksukutif, hingga pengusaha. Jumlah jamaah
perempuan tiga kali lebih besar ketimbang jamaah laki-laki. Silsilah ajaran
Naqsabandy tersambung sampai Rosulullah malalui syeh Abdul Qadir Jailani.
Tarekat model Abdul Qodir jaelani ini sudah dikenal sejak 1.300 tahun lampau.
d. Tarekat
Qadiriyah wa Naqsabandiyah (TQN).
Bila ditilik dari jumlah pengikutnya, tarekat terbesar di
Indonesia adalah Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah. Tarekat inilah yang
akhir-akhir ini kian menarik perhatian masyarakat Jakarta. Saat ini, lokasi
pembacaan manaqib (biografi Abdul Qadir Jaelani) dan khataman TQN tak kurang
dari 110 tempat di Jakarta.
Dalam semalam, minimal ada tiga tempat untuk manaqiban dan
khataman. Mereka dibimbing sekitar 30 mubaligh. Sesepuh TQN se-Jakarta dan
sekitarnya adalah KH Abdul Rasyid Effendy, 61 tahun. Jumlah jamaah TQN
se-Jakarta sekitar satu juta orang. Se Indonesia sekitar tiga juta orang. Dalam
tiap malam, manaqiban di Jakarta kat Rosyidi kini diikuti 20-30 orang baru.
Pengikut TQN tidak hanya kelas atas, melainkan dari semua
lapisan, termasuk kelas bawah. Menurut ketua Wilayah TQN Jakarta Utara, Maksum
Saputra, ikhwan-ikhwan (anggota) TQN diwilayahnya banyak dari kalangan nelayan
dan penjual ikan. Di Ciputat, Jakarta Selatan, antara lain diikuti pengusaha
kerupuk dan kondektor bus, disamping itu, banyak juga mantan mentri, artis,
pengusaha, dan pejabat tinggi negara yang bersidia di baiat menjadi jamaah TQN.
Menurut Rosyid, yang sejak 1994 diangkat sebagai wakil
talqin (khalifah mursyidah) Abah Anom, masuk TQN tidak sulit, cukup mengikuti
acara manaqiban lalu diberi pengarahan sekitar setengah jam, ditalqin dzikir
sekitar 5 menit, dan di baiat. Baiat berisi janji setia pada Tuhan untuk
menjalani amalan dalam TQN, amalan itu intinya berisi dzikir dhohir dan khofi.
e. Pengajian
Tarekat Akmaliyah.
Letaknya di Jawa Timur (Desa Wringin Anom, Kecamatan
Tumpang, Malang) . Tarekat ini melanjutkan ajaran syaikh Siti Jenar, yang di
populerkan Sultan Hadi Wijoyo (Joko Tingkir, Raja Pajang). Tarekat Akmaliyah
menganut paham teologi pembebasan, bahwa setiap manusia berhak bertemu
Tuhannya. Tarekat ini tak mengangkat mursyid sebagaimana tarekat lainnya, hanya
ada semacam koordinator, (dalam hal ini Kiai Ahmad, seorang petani biasa adalah
sebagai koordinatornya), Lelakunya ringan, jumlah dzikirnya tak dibatasi
bilangan, disesuaikan dengan kemampuan dan waktu yang bebas.
Alumninya berjumlah ratusan, antara lain Drs. Agus
Sunyoto,MPd, 41 thn. Dosen SekolahTinggi Agama Islam Negeri Malang ini
bergabung dengan tarekat Akmaliyah setahun lalu. Tarekat ini tak mengenal
pemondokan dan pembaiatan. Setelah berdiskusi dengan kiai Ahmad untuk
meluruskan persepsi, jamaah bisa wiridan sendiri di rumahnya. "Tarekat ini
cocok untuk orang sibuk" ujar Agus. Menurut dia tarekat Akmaliyah mampu
menghubungkan manusia kepada Roh Allah, akibatnya hidup jadi lebih ringan.
(lihat Majalah Gatra, hal 66-67 Edisi 30 September 2000 M)
Inilah sekilas tentang bentuk pengajian tasawwuf atau tarekat
yang berkembang di Indonesia, yang sampai sekarang ini masih terus berkembang
di negara kita.
DAFTAR PUSTAKA
Arbery, A.J. 1963. Sufisme. George Allen dan Unwin Ltd.
London
Hamid, Abu. 1994. Syeih Yusuf Seorang Ulama, Sufi, dan Pejuang.
Jakarta: Yayasan Obor
Iskandar, T. Bustan al-Salatin. Kuala Lumpur
John, A.H. Islam in
South Asia. London
Mulyati, Sri. 2006. Tasawuf Nusantara rangkaian Mutiara Sufi
Terkemuka. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Nasution, Harun. 1986. Perkembangan Ilmu Tasawuf di Dunia
Islam” dalam orientasi Pengembangan Ilmu Tasawuf. Proyek Pembinaan Prasarana
dan Sarana Perguruan Tinggi Agama Islam/IAIN di Jakarta Ditbinbaga Depag RI
Nasution, Harun. 1992/1993. (ed.), Ensiklopedi Islam di
Indonesia, jilid I. Jakarta: Abdi Utama
Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Sumatera Utara.
1981/1982. Pengantar Ilmu Tasawuf
Rosihan A, dan Solihin, M. 2007. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV
Pustaka Media
Sholihin, M. 2001. Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di
Indonesia Bandung: Pustaka Setia
Siregar, A. Rivay. 2002.
Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada
Trimingham, J.S. 1973. The Sufi Orders in Islam. Oxford:
Oxford University Press
[1] A.H. John, Islam in South Asia. London, 1965:166
[2] Hammad.
[3] Hammad.
[4] A.H John, op. cit. : 5
[5] Konsep wali dalam sufisme, adalah seorang sufi yang
telah dapat melakukan hubungan komunikasi langsung dengan Allah secara
spiritual dan dapat mengetahui hal-hal yang ghaib.
[6] Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, Op., Cit,176
[7] M. Sholihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia
(Bandung: Pustaka Setia, 2001), 36
[8] Ibid., 37-49
[9] Harun Nasution, et. Al., (ed.), Ensiklopedi Islam di
Indonesia, jilid I, Abdi Utama, Jakarta, 1992/1993, hlm.33
[10] Abdullah, op. cit., hlm. 60.
[11] Abu Hamid, Syeih Yusuf Seorang Ulama, Sufi, dan Pejuan,
Yayasan Obor, Jakarta, 1994, hlm. 173.
[12] Rosihan A, dan Solihin, M. 2007. Ilmu Tasawuf. Bandung:
CV Pustaka Media
[13] Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Sumatera Utara,
Pengantar Ilmu Tasawuf, 1981/1982, hlm. 273
[14] Ibid
[15] Harun Nasution, Perkembangan Ilmu Tasawuf di Dunia
Islam” dalam orientasi Pengembangan Ilmu Tasawuf, Proyek Pembinaan Prasarana
dan Sarana Perguruan Tinggi Agama Islam/IAIN di Jakarta Ditbinbaga Depag RI,
1986, hlm. 24
[16] Proyek Pembinaan
Perguruan Tinggi Agama Sumatera Utara, op. cit. hlm. 275.
[17] Ibid, lihat juga J.S. Trimingham, The Sufi Orders in
Islam, Oxford University Press, Oxford. 1973, hlm. 58-64.
[18] Ibid., halm. 35, 55, dan 60.
[19] A.J. Arbery, Sufisme, George Allen dan Unwin Ltd.,
London, 1963, hlm. 85.
[20] Trimingham, op.cit., hlm. 44.
[21] Harun Nasution, “Perkembangan…” op. cit., hlm. 24.
[22] Ibid., hlm. 25.
[23] Arbery, op. cit, hlm. 157.
[24] Nasution, “Perkembangan…”, op. cit, hlm.26.
[25] Ibid.
[26] lihat Majalah Gatra, hal : 65-67, edisi 30 September
2000 M .TASAWUF DI INDONESIA
TASAWUF DI TANAH AIR
A. Pendahuluan
Ajaran tasawuf di indonesia, tercatat sejak masuknya agama islam
dinegeri ini. Para pedagang muslim mengislamkan oang-orang indonesia, tidak
hanya menggunakan pendekatan bisnis, tetapi juga menggunakn pendekatan tasawuf.
Suburnya
perkembangan tasawuf di indonesia, kerena di latar belajangi oleh kepercayaan
yang dianutnya, sama halnya dengan perkembangan
di india dan Persia sebelum nya. Tentu saja, para muballigh yang
memperkenalkan tasawufnya, mempunyai corak yang berbeda-beda pula.
Dalam
pembahasan ini di kemukakan sebagian ulama tasawuf dengan aliran yang dianut
nya.[1]
Membahas
tentang perkembangan tasawuf di indonesia tidak akan terlepas dari pengkajian
proses islamisasi dikawasan ini sebab penyebaran islam di nusantara sebagian
besar merupakan jasa dari sufi tersebut.
Perlu kita ketahui bahwa dai
sekian banyak naskah lama yang berasal dari Sumatra, baik yang ditulis dalam
bahasa arab maupun bahasa melayu, berorientasi sufisme. Hal ini menunjukkan
bahwa pengikut tasawuf merupakan unsur dominan dalam masyarakat pada masa itu.
Kenyataan lainnya, kita bias melihat pengaruh yang sangat besar dari para sufi
ini di tanah Aceh maupun di tanah jawa. Dikawasan Sumatra bagian utara saja
setidak nya ada empat sufi terkemuka, antara lain Hamzah fansuri (sekitar abad
14 m) yang terkenal dengan karya nya yang berjudul Asrar Al-‘Arifin dan Syarab
Al-Asyikin serta beberapa kumpulan syair sufistik nya. Syamsuddin Pasai,
penulis kitab Jauhar Al-Haqoriq dan Miraat Al-Qulub. Dia adalah murid dan
pengikut Hamzah fansuri yang mengembangkan doktrin Wahdat Al-Wujud Ibn Arabi.
Berbeda dengan kedua tokoh di atas, Abd. Rauf Singkel (w.1639) merupakan
penganut Tarekat Syattariah, ini bisa kita lihat dari karya nya yang berjudul
Miraat Ath-Thullab. Tokoh popular lainnya adalah Nuruddin Ar-Raniri (w. 1644)
Penulis Bustan As-Salatini. Dari kitab ini, kita bisa mengetahui bahwa ia
adalah pengikut tasawuf sunni dan penentang tasawuf hamzah fansuri, disamping
ia adalah penasehat Iskandar Tsani. Semua sufi besar ini merupakan penasihat
sultan pada masanya.
Sejak berdirinya kerajaan islam pasai, kawasan itu menjadi titik sentral
penyiran agama islam ke berbagai daerah di Sumatra dan pesisir utara pulau
jawa. Islam tersebar di ranah minangkabau atas upaya Syehk Burhanuddin Ulaka
(w. 1693 M), murid Abd Rauf Singkel, yang terkenal sebagai syehk Terekat
Syattariah. Sampai sekarang, kebesaran shehk dari ualakan ini sebagai sufi
besar, tetap di abadikan masyarakat pesisir minangkabau melalui upacra ‘busapa’
di ulakan pada setiap bulan safar. Ulama-ulama besar yang muncul kemudian di
daerah ini, pada umum nya berasal dari Syehk Ulakan, seerti Tuanku Nan Renceh,
Tuanku Imam Bonjol, Tuanku pasaman, Tuanku Lintau, dan lain-lain. Orang orang
minagkabau yang gemar merantau, menyebarkan agama islam ke berbagai daerah di
Sumatra bagian tengah dan selatan, Kalimantan, Sulawesi, daan daerah
sekitarnya. Penyebaran islam kepulau jawa, juga berasal dari kerajaan pasai,
terutama atas jasa Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishak, dan Ibrahim Asmoro,
yang ketiga nya adalah abisturen pasai. Melalui keuletan mereka itulah, berdiri
kerajaan demak yang kemudian menguasai Banten dan Batafia melalui Syarif
Hidayatullah.[2]
B. TASAWUF
DI INDONESIA
1.
Hamzah Al-Fansuri
a. Riwayat Hidup Hamzah
Al-Fansuri
Nama
Hamzah Al- Fansuri di Nusantara tidak asing lagi di kalangan Ulama dan penyidik
sarjana penyidik ke keislaman. Hampir semua penyidik sejarah islam mencatat
bahwa Shekh Hamzah Al-Fansuri dan muridnya Syekh samsuddin Sumatrani termasuk
tokoh sufi yang sepaham dengan Al-Halaj. Paham hullul,ittihat,mahabbah, dan
lain-lain adalah seirama. Syekh Hamzah Fansuri di akui salah seoraang pujangga
islam yang sangat popular pada zamannya
sehingga kini namanya menghiasi lembaran-lembaran sejarah kesustraan melayu dan
indonesia. Namanya tercatat sebagai seorang kaliber besar dalam perkembangan
islam di Nusantara dari abad nya hingga abad kini. Dalam buku buku sejarah
mengenai Aceh, Namanya selalu di uraikan dengan panjang. Dada Meurexa pernah
mengatakan dalam seminar masuknya islam ke indonesia, sebagai berikut:
“Memerhatikan
Ulama-Ulama islam bermunculan dizaman dahulu berasal dari fansuri juga,
misalnya syekh Hamzah Fansuri, Syehk Abdul Murad, Shekh Burhanuddin (murid
Syekh Abdur Rauf Al-Fansui) semua asal nya barus, Syamsuddin Pasai adalah murid
dari Hamzah Al-Fansuri. Ini membuktikan bahwa pada abad ke-16 saja telah
tergambar dengan jelas tentang sumber-sumber Ulama-ulama besar yang masih
masyhur sampai sekarang.”[3]
Meskipun keberadaan AL-Fansuri di yakini para ahli, tahun
dan tempat kelahirannya hingga sekarang masih belum di ketahui. Ketidak jalasan
riwayat Al-Fansuri ini disebabkan tidak di masukkanya nama Al-Fansuri dalam dua
sumber penting sejarah Aceh, yakni Hikayat Aceh dan Bustanus Salatin, yang di
tulis atas perintah Sultan.[4]
Berdsrkan kata ‘fansur’ yang menempel pada namanya, sebagian
peneliti beranggapan bahwa ia berasal dari fansur, sebutan Orang Arab terhadap
Barus yan sekarang merupakan kota kecil di pantai barat Sumatra utara, yang
terletak di antara sibolga dan Singkel. Dalam salah satu syairnya, ia menulis:
Hamzah nur
asalnya Fansuri
Mendapat wujud di
tanah Syahr Nawi
Beroleh khalifah
ilmu yang ‘ali
Dari pada Abdul
Qadir Sayyid Jailani.
Ada orang berpendapat bahwa ‘‘Syahru Nawi’’ ( pada baris ke
dua ) adalah Bandar Ayuthia, ibukota Kerajaan Siam pada zaman silam. Pendapat
lain bahwa Syahru Nawi adalah nama lama dari tanah Aceh, sebagai peringatan
bagi seorang pangeran siam bernama Syahri Nuwi, yang datang ke Aceh pada zaman
dahulu dan membangun Aceh sebelum
datang nya islam.
Orang banyak menentang Al-Fansuri karena paham wihdatul
wujud, hulul, ittihad-nya sehingga terlalu mudah bagi orang lain untuk mengecap
dirinya seoang yang zindiq,sesaat, kafir, dan sebagai nya. Ada orang yang
menyangka nya sebagai pengikut ajaran syi’ah. Ada juga yang mempercayainya
bahwa ia bermazhab syafi’I di bidang fiqih. Dalam tasaawuf, ia mengikuti
tarekat Qadiriah yang di bangsakan pad Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.
Syair-syair Syekh Hamzah Fansuri terkumpul dalam buku-buku
yang terkenal. Dalam kesustraan melayu/indonesia, tercatat buku-buku syairnya,
antara lain Isyir Burung pangai, syair dagang, Sair pangguk, Syair Sidang
Fakir, Syair Ikan Tongkol, dan syir Perahu. Karangan-karangan Hamzah
Fansuriyang berbentuk kitab ilmiah antara lain Asrarul’ Arifin Fi Bayani Ilmis
Suluki wat Tauhid, Syarbul Asyiqin Al-Muhtadi, Ruba’I Hamzah Al-Fansuri.[5]
Tampaknya, Syekh Hamzah Fansuri adalah seorang ahli bahasa
dan bahasa yang pasti di kuasaainya adalah bahasa Arab,bahasa, bahasa Farsi,
dan bahasa Melayu. Ini dapat di ketahui dari kalimat nya,
‘‘Amma ba’du. Adapun kemudian dari pada itu maka ketahui
olehmu, hai sudaraku, bahwa al-faqi al-haqir al-dhaif al-khalif Hamzah fansuri
radhiallahu anhu, hendak menanyakan jalan kepada Allah dengan bahasa jawa dalam
kitab ini saat sampi ssegala hamba yang tidak bahwa bahasaa Arab dan Farsi
dapat memahami nya.
Hamzah Fansuri
sangat giat mengajarkan ilmu tasawuf menurut keyakinan nya. Ada riwayat yang
mengatakan bahwa ia pernah sampai ke seluruh semenanjung dan mengembangkan
tasawuf di negeri Perak, Perlis, Kelantan, Terengganu dan lain-lain.
b. Ajaran Tasawuf
Hamzah Al-Fansuri
Pemikiran Al-Fansuri
tentang tasawuf banyak di pengaruhi Ibn ‘Arabi dalam paham wahdat wujud-nya.
Sebagai seorang sufi, ia mengajarkan bahwa tuhan lebih dekat dari pada leher
mabusia sendiri, dan bahwa tuhan tidak bertempat, sekalipun sering di katakan
tuhan ada di mana-mana. Ketika menjelaskan ‘‘fainama tuwallu fa tsamma
wajhu’llah’’,ia mengatakan bahwa kemungkinan memandang wajah Allah di mana-mana
merupakan unio-mistica. Para sufi menafsirkan
‘wajah Allah’ sebagi sifat-sifat tuhan, seperti pengasih, penyayang,
jalal, dan jamal. Dalam satu syirnya, Al-Fansuri berkata,
Mahbubmu itu
tiada berha’il,
Pada ayna ma tuwallu jangan kau ghafil,
Fa tsamma wajhullah ssempurna wasil.
Hamzah Inilah jalan orang yang kamil.
Al-Fansui
menolak ajaran pranayama dalam agama hindu yang membayangkan tuhan berada di
bagian tertentu dar tubuh, seperti ubun-ubun yang di pandang sebagai jiwa dan
dijadikan titik konsentrasi dalam usaha mencapai persatuan.
Ajaran
tasawuf Al-Fansuri yang lain berkaitan dengan hakikat wujud dan penciptaan.
Menurutnya, wujud itu hanyalah satu walupun kelihatan banyak. Dari wujud yang
saat ini, ada yang merupakan kulit (mazhhar, kenyataan lahir) danada yang
berupa isi (kenyaataan batin).semua benda yang ada sebenarnya merupakan
manifestasi dari yang hakiki, yang di sebut Al-Haqq Ta’ala. Ia menggambarkan
wujud tuhan bagaikan lautan dalam yang tak bergerak, sedangkan alam semesta
merupakan gelombang lautan wujud Tuhan. Pengaliran dari zat yang mutlak ini di
umpamakan di umpamakan gerak ombak yang menimbulkan uap, asap, dan awan yang
kemudian menjadi dunia gejala. Itulah yang disebut ta’ayyun. Itu pulalah
tanazul. Kemudian, segala sesuatu kembali lagi kepada tuhan (taraqqi), yang di
gambarkan sebagai uap, asap, awan, lalu hujan dan sungai, dan kembali lagi ke
hutan.
Pengembaraan yang pernah di lakukan Al-Fansuri berupa jasad dan rohani
di ungkapkan dengan syair,
Hamzah
Fansur di dalah Mekkah,
Mencari
tuhan di Baitul Kabah,
Di Barus ke kudus terlalu payah.
Akhirnya dapat di dalam rumah.
Syair Al-Fansuri yang lain adalah,
Hamzah Gharib,
Akan rumahnya Baitul Ma’muri,
Kursinya sekalian kafuri,
Di negri fansur minal ‘asyjari.
Kata-kata Al-Fansuri di atas merupakan sindiran terhadap apa
yang pernah di ucapkan Abu Yazid Al-Bustami, yang mengatakan bahwa tuhan berada
dalam jubbah nya. Di dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat mutasyabihat, misalnya
pada ayat, ‘‘Dimana kamu hadapkan wajahmu, di situ ada wajah tuhan. Kami lebih
dekat dari pada urat leher.
2. Nuruddin
Ar-Raniri
a. Riwayat Hidup
Nurudi Ar-Raniri
Ar-Raniri
dilahirkan di Ranir, sebuah kota pelabuhan tua di pantai Gujarat, india. Nama
lengkapnya adalah Nurudin Muhammad bin Hasanjin Al-Hamid Asy-Syafi’I Ar-Raniri.
Tahun kelahiran nya tidak di ketahui dengan pasti,tetapi kemungkinan besar
menjelang abad ke-16. Ia mengikuti langkah keluarganya daalm hal pendidikan
nya. Pendidikan pertamanya di peroleh di Ranir dan kemudian di lanjutkan ke
wilayah Hadhamaut. Ketika masih di negri asalnya, ia sudah banyak menguasai
ilmu agama. Di antara guru yang paling banyak memengaruhinya adalah abu Nafs
Sayyid Imam bin ‘Abdullah bin Syaiban, seorang guru Tarekat Rifa’iyah keturunan
Hadhramaut-Gujarat, India.
Menurut
catatan Azyumardi Azra, A-Raniri merupakan tokoh pembaharuan di Aceh. Ia mulai
melancarkan pembaharuan islamnya di Aceh setelah mendapat pijakan kuat di
istana Aceh. Pembaharuan utamanya adalah memberantas aliran wujudiyah yang di
anggap sebagai aliran sesat. Ar-Raniri di kenal juga sebagai syekh islam yang
mempunyai otoritas untuk mengeluar fatwa menentang aliran wujudyyah ini. Bahkan
lebih jauh, ia mengeluarkan fatwa yang mengarah pada perbuuan orang-orang
sesat.[6]
Di
antara karya-karya yang pernah di tulis
Ar-Raniri adalah:
1. Ash-Shirath
Al-Mustaqim (Fiqh, bahasa Melayu)
2. Bustan
As-Salatin Fi Dzikr Al-Awwalin wa Al-Akhirin (bahasaa melayu)
3. Durrat Al-Fara’adh
bi sharhi Al-‘Aqa’id (Aqidah, bahasa Melayu)
4. Syifa’
Al-Qulub (Cara-cara berzikir, bahasaa melayu)
b. Ajaran Tasawuf
Nuruddin Ar-Raniri
1. Tentang Tuhan
Pendirian
Ar-Raniri dalam masalah ketuhanan pada umumnya bersifat kompromis. Ia berupaya
menyatukan paham mutakalimin dengan paham para sufi yang di wakili Ibn ‘Arabi.
Ia berpendapat bahwa ungkapan ‘wujud Allah dan alam Esa’ berarti bahwa ala mini
merupakan sisi lahiriah dari hakikat nya yang batin, yaitu Allah, sebagai mana
yang di maksud Ibn ‘Arabi. Namun, ungkapan itu pada hakikat nya adalah bahwa
ala mini tidak ada. Yang ada hanyalah wujud Allah yang Esa. Jadi, jadi tidak
dapat di katakana bahwa alam bahwa ala mini berbeda atau bersatu dengan Allah.
Pandangan Ar-Raniri hamper sama dengan Ibn’ Arabi bahwa ala mini merupkan
tajalli Allah. Namun, tafsirannya di atas membuat nya terlepas dari label
pantaisme Ibn ‘Arabi.
2. Tentang Alam
Ar-Raniri
berpandangan ala mini di ciptakan Allah melalui tajalli. Ia menolak teori
al-faidh (emanasi) Al-farabi karena akan membawa pada pengakuan bahwa ala mini
kadaim sehingga dapat jatuh kepada kemusyrikan. Alam dan falak, menurut nya,
meruooakan wadah tajalli asma dan sifat Allah dalam bentuk yang konkret. Sifat
ilmu ber-tajalli pada; nama rahman be- tajalli pada arsy, nama rahim
ber-tajalli pada kursy, nama raziq ber-tajalli pada falak ke tujuh, dan
seterusnya.
3. Tentang Manusia
Manusia,
menurut Ar-Raniri, merupakan makhluk yyang paling sempuna di dunia ini sebab
manusia merupakan khalifah Allah di bumi yang dijadikan sesuai dengan
citra-Nya. Selain itu, karena manusia juga merupakan mazhhar (tempat kenyataan
asma dan sifat Allah paling lengkap dan menyeluruh). Konsep insane kamil,
menurutnya pada dasarnya hampir sama dengan apa yang telah digariskan Ibn
‘Arabi.
4. Tentang Wujudiyyah
Inti ajaran
wujudiyyah, menurut Ar-Raniri, berpusat pada wahdat al-wujud, yang di salah
artikan kaum wujudiyyah dengan ‘kemanuggalan Allah dengan alam’. Menurut
pendapat Al-Fansuri, wahdat al-wujud dapat membawa kepada kekafiran. A-Raniri
berpandangan bahwa jika benar Tuhan dan
makhluk hakikat nya satu, dapat di katakana bahwa manusia adalah tuhan dan
tuhan adalah manusia sehingga jadilah seluruh makhluk adalah tuhan. Semua yang
dilakukan manusia, baik maupun buruk, Allah serta melakukan nya. Jika demikian
hal nya, manusia mempunyai sifat-sifat Tuhan.
5. Tentang Hubungan
Syariat dan Hakikat
Pemisahan antara
syariat dan hakikat, menurut Ar-Raniri, merupakan sesuatu yang tidak benar.
Untuk menguatkan argumentasi nya, ia mengajukan beberapa pendapat pemuka sufi, di antaranya syekh
Abdullah Al-Aidarusi, yang mengatakan bahwa tidak ada jalan menuju Allah,
kecuali melalui syariat yang merupakan pokok dan cabang islam.[7]
3. Syekh Abdur Rauf
As-Sinkili
a. Riwayat Hidup
Abdur Rauf As-Singkili
Abdur Rauf
As-Sinkili adalah seorang ulama dan mufti kerajaan Aceh pada abad ke-17
(1606-1637 M). nama lengkap nya adalah Syekh Abdur Rauf bin ‘Ali Al-Fansuri.
Sejarah telah mencatat bahwa ia merupakan murid dari dari dua Ulama sufi yang
menetap di Mekah dan Madinah. Ia sempat menerima baiat Tarekat Syatariah di
samping ilmu-ilmu sufi yang lain, termasuk sekte dan ruang lingkup ilmu
pengetahuan yang ada hubungan dengan nya.
Menurut
Hasyimi, sebagaimana di kutip Azyumardi Azra, ayah As-Sinkili berasal dari
Persia yang datang ke Sumatra pasai pada
akhir abad ke-13 dan kemudian menetap di Fansur, Barus, sebuah kota pelabuhan
tua di pantai barat Sumatra. Pendidikan di mulai dari ayah nya di simpang kanan
(sinkil). Kepada ayahnya, ia belajar ilmu-ilmu agama, sejarah, bahasa Arab,
mantiq, filsafat, saastra Arab, Melayu dan bahasa Persia. Pendidikan nya
kemudian di lanjudkan ke samudera pasai dan belajar did ayah tinggi pada syekh
Syamsuddin As-Sumatrani. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan ke Arabia.
Berkenaan
dengan perjalanan rohaninya, As-Sinkili boleh memakai ‘khirqaq’, yaitu sebagai
pertanda telah lulus dalam pengujian
secara suluk. Ia telah di beri selendang putih oleh gurunya sebagai pertanda
pula bahwa telah di lantik sebagai khlifah Mursyid dalam orde Tarekat
Syatariah. Yang berarti pula ia boleh membai’at orang lain. Telah diakui bahwa
ia mempunyai silsilah yang bersambung dari gurunya hinga hingga kepada Nabi
Muhammad SAW.
As-Sinkili
banyak mempunyai banyak murid, di antaranya adalah Syekh Buhanuddin Ulaka (w.
1111 H/1691 M) yang aktif mengembangkan tarekat Syattariah. Tersebarnya tarekat
itu melai dari Aceh melaui jalur yang tepat hingga ke Sumatra barat menyusur ke
Sumatra selatan dan berkembang pula hingga ke Cirebon, Jawa barat jika kita
kaji dengan teliti selalu ada silsilah As-Sinkili.
Dantara
Karya-Karya As-Sinkili adalah:
1. Mir’at
Ath-Thullab (fiqh Syafi’I bidang muamalat)
2. Hidayat Al-Baligha (fiqh tentang sumpah,
kesaaksian, peradilan, pembuktian, dan lain-lain)
3. ‘Umdat
Al-Muhtajin (taswuf)
4. Syams
Al-Ma’rifah (tasawuf tentang makrifat)
5. Kifayat
tentang Al-Muhtajin (tasaawuf)
6. Daqa’iq
Al-Huruf (tasawuf)
7. Turjaman
Al-Mustafidh (tafsir), dan lain-lain.
b. Ajaran Tasawuf
Abdur Ra’uf As-Sinkili
Sebelum
As-Sikili membawa ajran tasawuf nya, di Aceh telah berkembang ajaran tasawuf falsafi, yaitu tasawuf
wujudiyyah, yang kmudian dikenl dengan nama Wahdat Al-Wujud. Ajaran tasawuf
Wujudiyyah ini di anggap Ar-Raniri sebagai ajaran sesat dan penganut nya di
anggap sudah murtad. Terjadilah proses penghukuman bagi mereka. Tindakan
Ar-Raniri dinilai As-Sinkili sebagai pebuatan yang terlalu emosional.
As-Sinkili menganggap persoalan aliran Wujudiyyah dengan penuh kebijaksanaan.
As-Sinkili
berusaha merekonsilasi antara tasawuf dan syariat. Ajaran tasawufnya sama
dengan Syamsuddin dan Nuruddin, yaitu menganut paham satu-satu nya wujud
hakiki, yakni Allah, sedangkan alam ciptaan nya bukanlah meupakan wujud
hakiki,tetapi bayangan dari yang hakiki. Menurut nya, jelas bahwa Allah berbeda
dengan alam. Walaupun demikian, antara bayangan (alam) dengan yang memancarkan
bayangan (Allah) tentu terdapat keserupaan. Sifat-sifat manusia adalah
bayangan-bayangan Allah, seperti yang hidup, yang tahu, dan yang melihat. Pada
hakikatnya, setiap perbuatan adalah perbuatan Allah.
Zikir dalam
pandangan As-Sinkili, merupakan suatu usaha untuk melepaskan diri dari sifat
lalai dan lupa. Dengannya, hati selalu mengingat Allah. Tujuan zikir adalah
mencapai fana’ (tidak ada wujud selain wujud Allah), Berarti wujud berzikir
bersatu dengan wujud nya, sehingga yang mengucapkan zikir adalah Dia.
Ajaran
tasawuf As-Sinkili yang lain bertalian dengan martabat perwujudan tuhan.
Petama, martabat ahadiyyyah atau la ta’ayyun, yaitu alam pada waktu itu masih
merupakan hakikat gaib yang masih berada di dalam ilmu Tuhan. Kedua, martabat
wahdah atau ta’ayyun awwal,yang sudah tercipta hakikat Muhammadiyyah yang
potensial bagi tercipta nya alam. Ketiga, martabat wihadiyyah atau ta’ayyun
tsani, yang di sebut juga dengan ‘ayan tsabitah, dan dari sinilah, alam
tercipta. Menurutnya, ucapan, ‘‘Aku Engkau, Kami Engkau, dan Engkau ia’’ hanya
benar pada tingkat wahdah atau ta’ayyun awwal karena unsur tuhan dan unsur manusia
pada tingkat itu belum dapat di bedakan. Tingkat itulah yang dimaksud Ibn
‘Arabi dalam syair-syairnya. Akan tetapi, pada tingkatan wahidiyyah atau
ta’ayyun tsani, alam telah memiliki sifat sendiri, Tetapi tuhan cermin bagi
insan kamil dan sebalik nya. Namun, Ia bukan ia, bukan pula yang lainnya. Bagi
As-Sinkili, jalan untuk mengesakan tuhan adalah dengan berzikir la ilaha illa’
llah sampai tercipta fana.[8]
4. Syekh Yusuf
Al-Makasari
a. Riwayat Hidup
Syekh Yusuf Al-Makasari
Syekh Yusuf
Al-Makasari adalah seorang sufi agung yang berasal dari Sulawesi. Ia dilahirkan
pada tanggal 8 syawal 1036 H atau bersamaan dengan 3 juli 1629 M, yang berarti
tidak berapa lama setelah kedatangan tiga orang penyebar islam ke Sulawesi (
yaitu datuk Ri Bandang dan Kawan-kawan nya dari minang kabau). Dalam salah satu
krangannya, ia menulis ujung namanya dengan bahasa Arab ‘Al-Makasari’, yaitu
nama kota di Sulawesi selatan ( Ujung pandang). Nalui fitrah pribadi Syekh
yusuf sejak kecil telah menampakkan cinta akan pengetahuan ke islaman. Dalam
tempo yang relatif singkat, ia telah tamat mempelajari Al-Quran 30 juz. Setelah
lancer tentang Al-Quran dan mungkin termasuk seorang penghafal, ia melanjutkan
mempelajari pengetahuan lain, seperti ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu bayan,
maani, badi’, balaghah, dan manthiq. Ia pun belajar pula ilmu fiqh, ilmu
ushuluddin dan ilmu tasawuf. Ilmu yang terakhir ini tmpak nya lebih serasi pada
dirinya.
Syekh Yusuf
prnah melakukan perjalanan ke yaman. di yaman dia menerima tarekat dari syekh
nya yang terkenal, yaitu syehk Abi Abdullah Muhammad Baqi Billah. Pengetahuan
tarekat yang dipelajarinya cukup banyak, bahkan sukar mencri ulama yang
mempelajari sekian banyak terekat serta mengamal kannya seperti dirinya, baik
dimasa nya maupun masa kini. Secara ringkas tarekat tarekat-tarekat yang
dipelajarinya adalah sebagai beirkut:.
1. Tarekat
Qdiriyah diterima dari Syekh Nurudin Ar-Raniri di Aceh
2. Tarekat
Naqsabandiyah diterima dari Syekh Abi Abdillah Abdul Baqi billah.
3. Tarekat
As-Saadah Al-Baalawiyah diterimanya dari Sayyid Ali di Zubeid, Yaman.
4. Tarekat
Syattariyah iterimanya dari Ibrahim Al-Kurani Madinah.
5. Tarekat
Khalwatiyah diterimanya dari Abdul Barakat Ayub Bin Ahmad bin Al-Khalwati
Al-Quraisyi di Damsyid. Syekh ini adalah imam di masjid Muhyiddin Ibnu’ Arabi,
dan lain-lain.
b. Ajaran Tasawuf Syekh Yusuf Al-Makasari
Berbeda
dengan kecenderungan sufisme pada masa-masa awal yang mengelakkan kehidupan
duniawi, Syekh Yusuf mengembangkan pardigma sufistik nya bertolak dari asumsi
dasar ahwa ajaran islam meliputi dua aspek, yaitu aspek lahir (syariat) dan
aspek batin (hakikat). Syariat dan hakikat harus dipandang dan diamalkan
sebagai satu kesatuan.
Meskipun
berpegeng teguh pada trnsedensi Tuhan dan, ia meyakini bahwa tuhan melingkupi
segala sesuatu dan selalu dekat dengan sesuatu itu. Mengenal hal ini,Syehk
Yusuf mengembangkan istilah al-ihathah (peliputan) dan al-ma’iyyah (kesertaan).
Kedua istilah itu menjelaskan bahwa tuhan turun (tanazul), sementara manusia
naik (taraki), suatu proses spiritual yang membawa keduanya semakindekat. Yehk
Yusuf menggarisbawahi bahwa pros ini tidak akan mengambil bentuk kesatuan wujud
antara manusia dengan tuhan. Sebab, al-ihathah dan al-ma’iyyah Tuhan terhadap
hamba-nya adalah secara ilmu. Menurutnya, fana’ adalah hamba yang tidak
memiliki kesadaran tentang dirinya, merasa tidak ada, hanya iamenyadari sebagai
yang mewujudkan, yang di wujudkan, dan perwujudan . pandangannya tantang tuhan
tersebut secara umum mirip dengan wahat al-wujud dalam filsafat mistik Ibn
‘Arabi.
Syeh yusuf
berbicara pula tentang insan kamil dan proses penyucin jiwa. Ia mengatakan
seorang hamba akan tetap hamba walaupun telah naik derajatnya, dan tuhan
akan tetap tuhan walaupun turun pada
diri hamba. Dalam proses penyucian jiwa, ia menempuh cara yang moderat.[9]
C. Penutup
Dari sekian banyak naskah lama yang berasal dari Sumatra,
baik yang ditulis dalam bahasa Arab maupun bahasa melayu, adalah berorientasi
sufisme. Hal ini menunjukkan bahwa pengikut tasawuf menjadi unsur yang dominan
dalam masyarakat pada masa itu. Kenyataan lainnya, kita melihat bagaimana
pengaruh yang sangat besar dari para sufi ini dalam mempengaruhi kepemmpinan raja, baik yang ada di tanah Aceh
maupun yang ada di tanah jawa.
Tokoh-tokoh sufi yang mempengaruhi perkembangan tasawuf di
indonesia, di antaranya Hamzah Al-fansuri, Nurudin Ar-raniri, Syehk Abdul rauf
As-sinkili, dan syehk Yusuf Al-Makasari.
Tokoh-tokoh sufi tersebut mempunyai pemkiran-pemikiran yang
beragam. Pemikiran-pemikiran Al-Fansuri tentang tasawuf banyak dipengaruhi Ibn
‘Arabi dalam paham wahdat wujud nya. Sebagai seorang sufi, ia mengajarkan bahwa
tuhan lebih dekat daripada leher manusia sendiri, dan bahwa tuha tidak
bertempat, sekalipun dikatakan bahwa ia ada di mana-mana.
Paham Ar-raniri dalam masalah ketuhanan umumnya bersifat
kompromis. Ia berupaya menyatukan paham mutakallimin dengan paham para sufi
yang diwakili Ibn ‘Arabi.
Ajaran tasawuf As-Sinkili yang bertalian dengan martabat
perwujudan Tuhan. Menurut nya, ada tiga macam perwujudan Tuhan. Pertama,
martabat ahaadiyyah, yang potensial bagi tercipta nya alam. Ketiga, wahidiyyah
atau ta’ayyun tsani, yang disebut juga dengan ‘ayan tsaabitah, dan dari sinilah
alam tercipta.
[1]
Drs Damanhuri, Mag. Akhlak Tasawuf, (Banda Aceh: Yayasan Pena Banda Aceh,
2005-2010,),Hal 59.
[2]
DR. Rosihon Anwar, M. Ag, Ahklak Tasawuf,( Bandung: Pustaka Setia, 2009), Hal
237-238.
[3]
Hawash Abdullah. Perkembangan Ilmu Tasawuf Dan Tokoh-Tokohnya Di
Nusantara.(Surabaya: Al-Ikhlas. 1990). Hlm.35
[4]
Abdul Hadi W.M. Hamzah Al-Fansuri. (Bandung:Mizan. 1995).Hlm. 14.
[5] Hawas Abdullah.
Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara.(Surabaya: Al-Ikhlas.
1990). Hlm. 35.
[6]
Ahmad Daudi. Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syekh Nuruddin Ar-Raniri.
(Jakarta: Rajawali. 1993. Hlm. 36.
[7] Ibid. hlm. 37.
[8]
Harun Nasution. Et. Al. (Ed). Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jilid 1,
(Jakarta: Abdi Utama, 1993), Hal, 33.
[9] Abu Hamid. Syekh
Yusuf Seorang Ulama, Sufi, dan Pejuang. Jakarta: Yayasan Obor. 1994. Hlm. 173.
septiadi of sufistik
Selasa, 20 Desember 2011
Tasawuf Nuruddin Ar-Raniri
Pemikiran Tasawuf Nuruddin Ar-Raniri
Oleh : Septiawadi
Pendahuluan
Seiring perkembangan Islam di Indonesia, ajaran tasawuf tampaknya
suatu hal yang tak dapat dipisahkan dari misi Islam untuk membawa manusia
menjadi umat yang bertauhid dan mentanzihkan Tuhan. Amalan – amalan agama yang
dibawa oleh pengembang Islam menekankan perlunya mengisi kehidupan rohani yang
betul – betul dapat dirasakan dan dipikirkan. Sebab dalam pengamalan ibadah
agama pada hakikatnya adalah untuk meraih hidup tenang bahagia di dunia dan
akhirat. Selain itu juga untuk membersihkan diri dari noda – noda dosa agar
ibadah yang dilakukan diterima oleh Allah dan kalau bisa dapat merasakan bahwa
diri ini berada dekat dengan Allah.
Bila diri merasa dekat dengan Allah berarti diri tersebut
sudah kembali ke fitrahnya. Perlu dipahami bahwa Allah itu maha suci maka
syarat untuk dekat dengan Allah harus menyucikan diri terlebih dahulu. Kedua,
Allah itu wujudnya immateri maka untuk bisa berdampingan dengan Allah tentu
harus meninggalkan aspek lahiriyah yang membelenggu rohani kita. Ini merupakan
rumusan yang dipakai kaum sufi dalam menempuh jalan kesufian atau dalam menjalani
tarekat.
Sekiranya 2 hal diatas sudah dipenuhi maka tidak ada lagi
tabir yang membatasi antara makhluk dengan khalik. Bagi kaum sufi falsafi tidak
hanya sebatas demikian tapi juga memahami bahwa Allah dan makhluk merupakan
wujud yang satu baik secara lahiriyah dan hakikat. Ketika ini diajarkan dan
dikembangkan terjadilah perbenturan dengan kelompok yang tidak harus memahami
seperti demikian. Artinya dalam perkembangan tasawuf falsafi tidak saja
mengandalkan rasa tapi juga harus dipahami berbarengan dengan penalaran
sekaligus.
Berbagai bentuk tasawuf diatas[1] mendapat tempat di bumi
Nusantara ini. Kalau diperhatikan berdasarkan catatan sejarah, aliran tasawuf
yang pertama kali tumbuh di Nusantara ( Indonesia ) adalah yang bercorak
falsafi seperti yang dikembangkan oleh Hamzah Fansuri ( sekitar abad 16 – awal
abad 17 atau 1600-an ) dan Syamsuddin
Sumatrani ( sekitar 1575 – 1630 perannya awal abad 17 ). Menurut ahli sejarah
mereka ini hidup sejaman dan ketika itu Aceh diperintah oleh Sultan Alauddin Ri’ayat
Syah ( 1588 – 1604 )[2] Disinyalir ajaran mereka ini hanya mengembangkan yang
dimunculkan oleh tokoh tasawuf falsafi sebelumnya seperti Ibnu Arabi, al –
Hallaj dan lain – lain.
Kemudian 2 tokoh berikutnya setelah Hamzah dan Syamsuddin
dimana mulai mengkritisi ajaran pendahulunya tersebut yang dianggap terlalu
jauh melangkah dalam menempuh jalan sufi. Tokoh yang dimaksud adalah Nuruddin
ar- Raniri ( mukim di Aceh 1637 – 1644
lahir sekitar 1580-an ) dan Abdurrauf as-Sinkili ( hidup sekitar 1620 –
1693 ).
Aceh sebagai pintu
masuk agama Islam di Indonesia, ternyata ajaran tasawuf juga berawal dari sini
yang kemudian meluas dan berkembang di berbagai wilayah di tanah air.
Tulisan yang disajikan ini masih berbicara dalam periode
pertumbuhan tasawuf di Indonesia dengan focus kajian yaitu Pemikiran Ar- Raniri
tentang aspek tasawuf. Ajaran tasawufnya ini sebagai respon dan kritikan
terhadap ajaran tasawuf wujudiyah yang berkembang sebelumnya yaitu Hamzah
Fansuri dan Syamsudin Sumatrani. Dari itu penulis akan menyoroti ajaran tokoh
ar – Raniri untuk mengkaji, seperti apa
ajaran tasawuf yang dikembangkannya, lalu bagaimana kaitannya dengan bentuk
tasawuf yang sudah berkembang sebelumnya. Bagaimanakah gagasannya dalam perpaduan
ajaran syari’at dan tasawuf? Selain itu bagaimanakah konsep ar – Raniri tentang
paham wujud?
Untuk membahas persoalan diatas penulis hidangkan dengan
memaparkan terlebih dahulu lintasan latar kesejarahan Aceh abad 17 kemudian
menjelaskan sejarah singkat ar – Raniri. Setelah itu langsung mengkaji ajaran
tasawufnya menyangkut posisi antara syariat dan tasawuf, bahasan selanjutnya tentang paham wujudiyah
dalam tasawuf.
I. Sekilas Kondisi Sosial Politik Aceh Abad 17 M
Berdasarkan beberapa sumber informasi dan ahli sejarah disepakati bahwa
Islam masuk ke wilayah Nusantara / Indonesia melalui daerah Aceh. Islam dibawa oleh para saudagar Arab / Timur
Tengah dan diperkirakan sudah mulai sejak awal pertumbuhan Islam sebab para
pedagang Arab itu sebelum Islam juga sudah menjalankan profesi demikian.
Dengan
pengaruh para pendatang tersebut lama kelamaan terciptalah komunitas muslim
yang akhirnya membentuk kekuatan, wilayah, kelompok dan kekuasaan yang akhirnya
muncul beberapa kerajaan. Penduduk Aceh mulai menyatakan kebersatuan mereka
sebagai bangsa, daerah dengan bersatunya kekuatan dibawah kerajaan Aceh
Darussalam tahun 1465 dengan rajanya Sultan Husein Syah.
Kerajaan
ini juga mengalami pasang surut, seperti factor konflik dalam kerajaan,
ekspansi wilayah dan sebagainya. Implikasinya untuk jabatan Sultan tidak selalu
dari kalangan keluarga bahkan ada yang berasal dari negeri tetangga. Seiring
perjalanan waktu maka pada akhir abad 16 memasuki abad 17 kerajaan Aceh mulai
tidak stabil. Pada tahun 1589 Kesultanan dipegang oleh Sultan Alauddin Ri’ayat
Syah al – Mukammil. Menurut beberapa sumber Sultan ini memiliki garis keturunan
dari dinasti Dar al – Kamal yang memerintah Aceh sebelum unifikasi.[3]
Ketika
Aceh hampir mengalami kehancuran muncullah orang muda si Perkasa Alam menjadi
penguasa kerajaan yaitu Sultan Iskandar Muda tahun 1607. Pada masa Sultan
inilah Aceh menampakkan kejayaannya lagi. Berdasarkan analisa sejarah pada masa
pemerintahan beliau diangkatlah sebagai mufti kerajaan Syaikh Syamsuddin Sumatrani.[4]
Disamping ada 4 tokoh berikutnya menjadi Mufti kerajaan.
Masing
mereka berdakwah dan mengajarkan agama dengan jalan syariat formal dan juga
dengan jalan tasawuf. Tampaknya suasana
lebih hidup dengan pendekatan tasawuf dan sepertinya masyarakat cenderung untuk
mempelajari agama lewat tasawuf.
Seperti
terlihat nanti dalam pembahasan, bahwa perseteruan paham tasawuf mulai muncul
ditengah masyarakat. Satu hal yang sangat tampak adalah para mufti lebih
mencari tempat “aman” untuk bersandar dipunggung Sultan.
Fenomena yang menonjol sekali adalah ketika as – Sinkili
sebagai mufti kerajaan yang dipimpin oleh para Sulthanah. As – Sinkili dalam
profesinya tidak mau menyinggung tentang fiqh Siyasah yang terkait dengan
pemimpin seorang wanita. Bahkan, pernah utusan dari Arab yang ditanyakan
mengenai kepemimpinan wanita dalam Islam.yang dulunya as – Sinkili tidak
memberikan jawaban tuntas. Justreu yang lebih tragis lagi as – Sinkili tidak
menerjemahkan kata muzakkar pada kitab
bahasa Arabnya ke dalam bahasa melayu dan disebut saja dengan kata aslinya.[5]
Pada waktu berikutnya datang jawaban dari ulama tanah suci
yang menyatakan bahwa wanita tidak boleh jadi pemimpin kerajaan. Akhirnya
digantilah Sulthanah terakhir dengan Umar bin Qadhi al – Malik al – Adil
Ibrahim sebagai Sultan.
Penulis tidak menemukan informasi lagi tentang siapa yang
diangkat sebagai mufti kerajaan setelah ada Sultan yang baru tersebut. Sikap as
– Sinkili diatas berguna untuk mempertahankan statusnya sebagai pejabat kerajaan
tapi memberikan citra buruk baginya.
II. Mengenal Nuruddin Ar – Raniri
Tersebut
dalam sejarah nama lengkap tokoh ini adalah Nuruddin Muhammad bin Ali bin
Hasanji bin Muhammad ar – Raniri as – Syafi’i.[6] Silsilah keturunan ar – Raniri
berasal dari India. Ia lahir sekitar pertengahan kedua abad 16 /tahun 1580-an
di Ranir ( sekarang Rander ) dekat Gujarat India.[7]
Pendidikan
awalnya dalam bidang keagamaan diperoleh ditempat kelahirannya. Kemudian
melanjutkan pendidikan ke Tarim, Arab Selatan. Sebelum kembali ke India, ia
menunaikan ibadah haji dan ziarah ke makam Nabi Saw pada tahun 1621 / 1030.
Sekalipun
tidak ditemukan data tentang siapa yang ditemui atau yang mengajari ar - Raniri
di tanah Arab namun di India diketahui ar – Raniri mempunyai guru yang terkenal
yaitu Abu Hafs Umar bin Abdullah Ba Sya’ban at – Tarim al – Hadhrami ( w. 1656
) yang juga dikenal di wilayah Gujarat sebagai Sayyid Umar al – Aidarus yang
merupakan orang Hadhrami seperti ar – Raniri juga.[8] Asal usulnya juga dari
Arab yang migrasi ke India.
Dari sisi
aliran tarekat ia ditunjuk oleh gurunya ( Abdullah Ba Syaiban ) sebagai khalifah dalam tarekat Rifa’iyah,
sebuah tarekat di Arab. Selain itu ar - Raniri juga mempunyai silsilah dari
tarekat Aidarusiyah[9] dan Qadiriyah.[10]
Pulang dari tanah Arab, ia mengajar agama di kampungnya.
Setelah beberapa tahun mengajar ia mulai menjelajahi dunia luar dan yang
pertama kali dikunjungi adalah Aceh bertepatan ketika itu dengan pemerintahan Sultan
Iskandar Muda. Karena tidak mendapat perhatian dari Sultan ia kemudian
meninggalkan Aceh. Beberapa tahun berikutnya ia datang lagi ke Aceh yang saat
itu dipimpin oleh Sultan Iskandar Tsani. Kali ini ia mendapat tempat di
pemerintah lalu menetaplah di Aceh dari tahun 1637 – 1644.[11]
Sepertinya ar – Raniri waktu meninggalkan Aceh pergi menuju
Malaka dan boleh jadi disini ia sudah berkenalan atau sudah dikenal oleh
Iskandar Sani orang Pahang – Malaka ( yang kemudian menjadi raja Aceh ).
Kemungkinan kedua adalah ar – Raniri belum dapat menyaingi ajaran tasawuf serta
pengaruh ketokohan Syamsudin Sumatrani yang merupakan mufti kerajaan pada masa
Sultan Iskandar Muda[12] yang menyebabkan ia tidak betah di sana dan pergi
untuk menunggu situasi yang pas untuknya.[13]
Tatkala Iskandar Sani menjadi Raja lalu ar – Raniri diangkat
sebagai mufti Kerajaan. Mulailah ia
melakukan pembersihan akidah masyarakat dari paham tasawuf sebelumnya yang
dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Dari fatwa – fatwa yang dikeluarkan
serta karangan atau buku yang disebarkannya menjadikan posisinya mulai mantap
apalagi Sultan mendukung kegiatan ini. Bahkan dikatakan juga, ar – Raniri sampai mengeluarkan fatwa ancaman
pembunuhan bagi orang yang tidak mau meninggalkan ajaran tasawuf Wujudiyah. Akhirnya
kedudukan ar – Raniri semakin kuat di Aceh.[14] Keberhasilan ar – Raniri
tersebut menandakan paham tasawuf akhlaqi yang pada waktu itu barangkali
dipahami sebagai tasawuf kelompok Sunni sangat mempengaruhi masyarakat. Tidak
sebatas itu saja bahkan bisa dikaitkan dengan paham Sunni[15] secara umum /
awam lebih mendapat tempat di masyarakat Aceh atau Melayu.
Kenyataan ini dapat dilihat dalam penamaan lembaga
pendidikan tinggi agama di sana yang menisbahkan kepada nama ar – Raniri yaitu
IAIN ar – Raniri. Artinya kepopuleran ar – Raniri sebagai pemurni ajaran Islam
lebih berkesan di hati masyarakat dan penghargaan masyarakat yang tinggi
kepadanya.
Sebagai
akhir kehidupan ar - Raniri di Aceh yaitu tidak lama setelah Sultan Iskandar
Tsani wafat maka pada tahun 1644 ia kembali ke negeri asalnya dan meninggal
disana tahun 1658.[16] Dijelaskan Azyumardi dengan mengutip tulisan Takeshi Ito
yang ia nukil pula dari catatan harian seorang komisaris pedagang tinggi VOC
Peter Sourij tahun 1643 bahwa ada ulama pendatang baru di Aceh yaitu Saiful
Rijal dari Minang yang senantiasa berpolemik dengan ar – Raniri. Rupanya kehadiran Saiful Rijal[17] mendapat
tempat pula di hati sebagian masyarakat[18] Bahkan Sulthanah ( 1641 - ) lebih
cendrung ke Saiful Rijal. Tidak jelas kenapa Sulthanah cepat tertarik dengan
Saiful Rijal, apa karena dipengaruhi si Nederlandis VOC itu yang terkesan
mengadu domba. Sebab ia sering melaporkan polemik antara kedua ulama itu ke
kalangan istana. Ar –raniri hanya sempat bergabung dengan Sulthanah sampai
tahun 1644, selanjutnya Saiful Rijal yang menggantikan.
Ketika menetap di Aceh ar – Raniri dikenal sebagai seorang
ulama dan penulis yang produktif. Ia banyak menulis kitab – kitab dalam
berbagai bidang ilmu agama
seperti fikih, hadis, akidah, sejarah, mistik, filsafat dan perbandingan
agama. Salah satu ciri khas tulisannya yaitu dalam uraiannya selalu
mengungkapkan sumber kutipan dalam rangka memperkuat argumen yang
dikemukakan.[19]
Diantara karya – karyanya yaitu :
As – Shirath al – Mustaqim ( bahasan fikih )
Asrar al – ‘Arifin ( tasawuf )
Al – Muntahi (
tasawuf )
Bustan as – Salathin fi Dzikr al – Awwalin wa al – Akhirin (
sejarah nabi – nabi, raja – raja )
Asrar al – Insan fi Ma’rifah ar – Ruh wa ar – Rahman ( Bahasan
tentang hubungan manusia dengan roh dan Allah )
Aqaid as – Shufiyah al – Muwahhidin ( akidah atau pengalaman
kaum sufi yang mentauhidkan Allah )
A. Ajaran Syari’at dan Tasawuf ar – Raniri
Ar-Raniri
terkenal sebagai ulama besar dan produktif yang memegang peranan penting dalam
pengembangan ajaran Islam di Aceh dengan
paham Ahlussunnah wa al- Jama’ah bermazhab Syafi’i. Ia banyak membantah dan
mencela paham Hamzah dan Syamsuddin dalam ajaran tasawuf.[20] Sekalipun secara
teologi mereka sama bermazhab Sunni tapi Hamzah cenderung ke Maturidi sedangkan
ar – Raniri lebih kepada Asy’ari. Dan yang lebih membedakan lagi Hamzah
mengikuti pola Ibnu Arabi dalam pemikiran tasawufnya. Demikian Ahmad Daudy.[21]
Mengenai
ajaran Wujudiyah, dianggapnya sebagai paham yang menyimpang dan ditentangnya
yaitu ajaran tentang kesatuan wujud antara Tuhan dengan makhluk serta perbedaan
antara syari’at dan hakikat.[22] Bagi ar – Raniri menekankan pentingnya
syari’at dalam praktek tasawuf dan pelaksanaannya dalam ibadah formal seperti
menyangkut wudhu, shalat, puasa, zakat, haji, kurban dan seterusnya. Ajaran ar
– Raniri ini sangat berarti bagi masyarakat melayu dimana sifat tasawuf yang
terkenal eksessif dan spekulatif sedang
berkembang.[23]
Antara
syari’at dan hakikat menurut ar – Raniri berbeda, artinya perbedaan Tuhan
dengan makhluk bukan saja dari segi syari’at tapi juga dari segi hakikat.
Makanya ia menolak pandangan yang menyamakan Tuhan dengan makhluk dari segi
hakikat. Ia mendukung pandangan para ulama yang menyatakan bahwa antara
syari’at dan hakikat mempunyai kaitan erat.
Ambisi dan
kegigihan ar – Raniri dalam pembaruan tasawuf di Aceh tidak bisa dilepaskan
dari pengaruh tarekat Aidarusiyah yang diikutinya. Gerakan tarekat Aidarusiyah
sudah terbukti intensitas kegiatannya di anak benua India dengan paham yang
menekankan keselarasan antara jalan mistik dan pengamalan syari’at. Tarekat
ini, juga terkenal karena sifat non asketis serta konsistennya dalam
beragama.[24]
Corak
tarekat seperti inilah yang melekat pada sosok ar – Raniri ketika berupaya
meluruskan tasawuf dengan memadukan tasawuf dan syari’at di tanah Aceh. Artinya
semangat dari daerah asalnya itulah yang mendorong ia bergerak untuk
mengembalikan landasan keimanan masyarakat yang murni.
Tampakanya
sikap keberagamaan seperti ar – Raniri masih dapat dijumpai sampai sekarang di
bumi Indonesia. Ulama – ulama keturunan Arab khususnya sangat gencar menanamkan
syari’at seperti yang berlaku di Arab Saudi. Alasannya ketidak puasan mereka
melihat umat Islam Indonesia dianggap tidak menjalankan agama seutuhnya dan
banyak mengabaikan ajaran formal yang sudah jelas dasarnya. Bagi mereka ada
yang tidak sempurna dalam pelaksanaan ajaran agama oleh masyarakat Indonesia.
Dengan begitu ada kesan gerakan yang dilakukan cenderung radikal dan
formalistic.
Hal ini
dapat kita temui di tanah air misalnya gerakan yang tergolong radikal, fanatik
umumnya dipimpin dan dipelopori oleh ulama keturunan ( sama halnya dengan ar –
Raniri ) seperti Abu Bakar Basyir dengan Majlis Mujahidin Indonesia, Ja’far
Umar Thalib dengan Laskar Jihad dan Habib Rizieq Shihab dengan Front Pembela
Islam. Sebetulnya gerakan – gerakan
seperti ini juga diperlukan sebagai penyeimbang dari gerakan atau pemikiran
yang cenderung liberal atau sangat liberal yang terkesan sering mengabaikan
formalistic ajaran Islam atau bahkan kurang memiliki semangat jihad.
Jalan
keluarnya adalah sama – sama berupaya menegakkan ajaran Islam seutuhnya, melaksanakan
amar ma’ruf nahi mungkar dan melakukan dialog untuk senantiasa bersatu.
Ar –
Raniri sendiri berusaha untuk menjernihkan pemahaman keimanan umat yang
walaupun mengikuti tasawuf namun tetap menjalankan syari’at formalnya.
B. Paham tentang Wujud
Berkenaan dengan konsep wujud menurut ar – Raniri bahwa
wujud itu esa adanya yaitu zat Allah ta’ala.
Alam ini hanya maz-har bagi hak Allah yaitu tempat nyata hak ta’ala.
Alam ini umpama rupa yang kelihatan didalamnya. Antara wujud hak ta’ala dengan
alam berlainanpun tidak, bersatupun tidak. Jadi Allah wujud hakiki sedangkan
alam wujud majazi.[25]
Melihat
pandangan ar – Raniri diatas, ada kemiripan dengan konsep al – Jili tentang
wujud antara alam dan Tuhan. Kata kuncinya disini yaitu alam sebagai maz-har
yang menampung sifat – sifat Tuhan. Ini dapat dibandingkan dengan Nur Muhammad
dan Insan Kamil. Artinya ar – Raniri juga menolak kalau alam dan Tuhan
merupakan kesatuan wujud yang bersatu padu, sebab hal itu mempunyai 2 wujud..
Jika Tuhan dan alam ( makhluk )
hakikatnya satu maka jadilah semua makhluk itu adalah Tuhan. Ini sangat
mustahil terjadi. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa ajaran yang menyatakan wujud
Allah itu adalah wujud makhluk dan wujud makhluk itu adalah wujud Allah
merupakan suatu hal yang mustahil seperti paham ittihad, hulul.[26]
Pemikiran
tasawuf ar – Raniri banyak diterima dan dianut oleh Sultan Iskandar Tsani
sehingga kebijakan ar – Raniri mengeluarkan fatwa kufur kepada pengikut
wujudiyah ternyata didukung oleh Sultan. Bahkan Sultan berulang kali menyuruh
dalam persidangan kepada para pendukung wujudiyah untuk mengubah pendapat
mereka dan bertobat kepada Allah karena kesesatan mereka, tapi inipun sia –
sia. Akhirnya Sultan memerintahkan agar mereka dibunuh sesuai dengan fatwa yang
dikeluarkan ar – Raniri sehubungan dengan kesesatan ajaran Hamzah dan
Syamsuddin, tidak hanya sampai disitu bahkan buku – buku merekapun dibakar
didepan masjid Banda Aceh.[27]
Menurut
Abdul Hadi, Banyak sarjana dan peneliti cenderung menyamakan pengkafiran
tersebut dengan pengkafiran Ibnu Taimiyah dan para pemurni tasawuf terhadap pengikut Ibnu Arabi pada abad 14.
Padahal bentuknya berbeda dengan gerakan Ibnu Taimiyah yang menolak keseluruhan
ajaran wujudiyah. Sebab ar – Raniri pada prinsipnya tidak menolak ajaran
wujudiyah seutuhnya.[28]
Kalau
begitu, dari uraian diatas dapat dipahami bahwa pandangan ar – Raniri tidak
jauh berbeda dengan konsep Hamzah dan Syamsuddin terutama dalam masalah
hubungan antara wujud Tuhan dengan alam. Sekalipun disebut bahwa ar – Raniri
adalah penentang paham Hamzah namun sebetulnya perbedaannya terkesan pada
pengungkapan redaksi saja. Dari sini timbul kecurigaan bahwa boleh jadi fatwa
pengkafiran oleh ar – Raniri terhadap konsep Hamzah dan pengikutnya disebabkan
oleh motif lain seperti unsur politik dan kekuasaan. Karena untuk menyebarkan
pahamnya ar Ranir perlu kekuatan istana untuk melindungi gerakannya.[29] Dugaan
ini bisa saja terjadi, sebab ar – Raniri adalah sebagai pendatang di Aceh dan
ia tentu punya program untuk dapat bertahan dengan kepentingan idenya.
Walaupun
diselingi motif lain, namun ada perbedaan yang menonjol antara ar – Raniri
dengan Hamzah yaitu berkaitan dengan paham syari’at yang diusungnya selain
mengajarkan tasawuf. Menurut ar – Raniri syari’at tidak dapat diabaikan untuk
menuju hakikat.
Untuk
lebih memperjelas persoalan kita akan kemukakan ajaran wujud Hamzah Fansuri dan
Syamsuddin tersebut lalu hal apa yang menurut ar – Raniri yang menyimpang.
Bagi Hamzah, konsepnya tentang wujud begini. Zat Allah
dengan wujud alam dengan alam esa hukumnya. Diibaratkan seperti cermin dan
bayangan, rupanya ada tapi hakikatnya tiada. Karena alam tiada berwujud
sendirinya. Sama halnya pendapat Hamzah dengan pandangan Ibnu Arabi bahwa wujud
Allah dengan wujud alam sesuatu yang tidak dapat dipisahkan sebab alam tidak
akan terwujud tanpa wujud Allah. [30]
Rumusan Ibnu Arabi dapat kita perhatikan;
al-‘Abdu Rabbun wa ar – Rabbu ‘Abdun
ya layta Sya’ry Man al – Mukallaf
in qulta ‘Abdu fa dzaka Rabbun
aw qulta Rabbun anna yukallaf
Jadi ada konsep tanzih dan tasybih
sekaligus yaitu tanzih dalam
ketransendensi Tuhan serta pengakuan akan imanensi Tuhan. Disinilah letaknya
kesatuan antara wujud Tuhan dengan wujud alam.
Memang
sulit dibedakan antara 2 wujud yang telah menyatu. Ide seperti inilah yang
mempengaruhi Hamzah dan Syamsuddin dalam tasawufnya
Implikasi pemikiran ini akan mengarah ke konsep penciptaan
bahwa menurut Hamzah ada 5 martabat yang dikuti. Zat Tuhan sebagai la ta’ayyun, lalu
bertajalli maka muncul; ta’ayyun awal ( ilmu, nur, wujud ) – ta’ayyun tsani (
manifestasi ilmu Tuhan ) – ta’ayyun tsalits ( roh ) – ta’ayyun rabi’ &
khamis = ( alam semesta dan makhluk
lainnya, penciptaan alam materi berkelanjutan terus).[31]
Sedangkan
Syamsuddin merumuskan dengan martabat tujuh yang terinspirasi dari konsep al –
Burhanpuri ( 1623 / 1029 ). Penciptaan bermula dari sifat ilahiyah sampai
terbentuk martabat alam yang bersifat materi.[32] Pada dasarnya isi rumusannya
tidak berbeda jauh dengan konsep Hamzah. Hanya dibedakan dari penggunaan
istilah serta posisi tingkatan.
Adapun
mengenai konsep wujud Syamsuddin dengan Hamzah sama – sama mendukung konsep
wujudiyah. Syamsuddin membagi strata tahlil 3 kategori :
La ma’bud illallah
La maqsud illallah
La maujud illallah ( Ini sebagai puncaknya )
Inilah konsep tanzih ( 3 macam ) maksudnya meluputkan
tasybih Tuhan artinya yang tinggal hanya hakikat wujud Allah pada alam.[33]
Kategori diatas disebut sebagai tauhid murni yang harus diajarkan serta dipahamkan
sesuai dengan tingkatan salik.
Rumusan
mereka tersebut yang dikritik ar – Raniri dan dianggap penyimpangan akidah
yaitu menafikan hakikat makhluk. Karena menurut ar – Raniri, makhluk tetap
berhakikat seperti matahari dan cahaya yang masing – masing tetap punya
hakikat. Jadi menurut ar – Raniri ajaran Hamzah ( aliran wujudiyah ) dengan
konsep imanensi Tuhan mengesankan ( sebetulnya ? ) dalam diri makhluk hanya
hakikat Allah saja.
Gerakan ar
– Raniri memang tergolong ekstrem yaitu dengan dalih konsep tasawuf yang
menyimpang menurutnya maka dihalalkan darah pengikut konsep wujudiyah tersebut.
Karena demikian, kecurigaan diatas semakin kuat bahwa ada motif politik
didalamnya yang mendorong ar - Raniri.[34] Namun demikian pada dasarnya ar –
Ranir bertekad untuk menganjurkan syari’at dalam kehidupan masyarakat
artinya tidak hanya semata-mata mencapai
hakikat dan mengabaikan syari’at.
Sebetulnya
hanya berbeda meyakini sesuatu dalam sudut pandang lain. Sebab antara ar – Raniri
dengan Hamzah dan Syamsuddin sama – sama ingin menyucikan Allah dan mengesakan
zat Allah tapi landasan berpijaknya berbeda. Paham wujudiyah yang dianut Hamzah
dan Syamsuddin cenderung memahami secara falsafi sedangkan ar – Raniri memahami
sebagaimana konsep kaum teolog.
Jadi kalau
para peneliti berprasangka bahwa sikap ar – Raniri merupakan untuk memperkuat
kedudukannya di aceh lalu ia berbuat demikian seperti yang disinyalir oleh Team
penyusun Depag sepertinya tidak tepat juga. Sebab hal yang dikhawatirkan oleh
ar – Raniri bahwa kalau paham itu dibiarkan berlarut maka bagi masyarakat yang
belum bisa memahami hal itu dengan benar,dapat menyesatkan. Atau tidak lagi
mempedulikan ajaran syari’at karena beranggapan mereka sudah sampai ke tingkat “ma’rifat”.
Namun
tindakan ar – Raniri yang menghalalkan darah pengikut wujudiyah dan mengklaim
sebagai kafir, zindik juga kurang tepat. Sebab mereka masih mengakui keesaan
Allah. Barangkali ajaran tersebut harus disesuaikan dengan kualitas masyarakatnya
artinya tidak merata bahwa pada orang awam diajarkan problema yang rinci dan
mendalam menyangkut ketuhanan.
Memperhatikan pandangan ar – Raniri tentang persoalan wujud diatas punya
keterkaitan pandangan dengan konsep Nur Muhammad dan Insan Kamil al –Jili.
Karena kata al – Jili, Insan Kamillah yang sesungguhnya yang dapat menampung
seutuhnya akan Nur Muhammad.
Pemahaman ar – Raniri diatas dapat disinergikan dengan
konsep Syaikh Yusuf Makassari yaitu ;
Bi annal Abda Abdun wa in Taraqqa.
Wa ar – Rabbu Rabbun wa in Tanazzala.[35]
Seorang
hamba yang walaupun sudah merasakan bersatu dengan Tuhan namun ia tetap sebagai
hamba. Artinya tidak dapat menggantikan posisi atau wujud Tuhan. Secara hakiki
wujud hanya Allah. Selain Allah hanya wujud khayali / fana tidak berdiri
sendiri. Dibalik itu harus mengakui sifat Allah yang sempurna, semua yang
terjadi atas kuasa dan kehendaknya.
Demikian
pembahasan mengenai pembaruan yang dikembangkan ar- Raniri dalam rangka
memadukan syari’at dan tasawuf agar sinergi dan integral.
Demkian
bahasan singkat mengenai tokoh tasawuf
awal, di Indonesia yang aktif di abad ke 17. Tampak ada perbedaan sikap dan watak antara
ar – Raniri dengan tokoh sufi lain khususnya di Aceh. Hal itu dapat dipengaruhi
dari latar geografis ar – Raniri di India yang sering terjadi konflik antar
agama ( seperti Hindu ) yang mengharuskan bersikap tegas dan keras. Berbeda
halnya dengan sufi orang Aceh sendiri seperti Abdurrauf as – Sinkili tentu
toleransi paham keagamaannya tinggi karena memang sudah menjadi penduduk asli
dari kecil.
Sebetulnya masih
banyak yang perlu diungkapkan dan dipersoalkan namun tidak memungkinkan dalam
kesempatan yang terbatas ini. Seperti aspek ajaran taswuf yang lain diantaranya
tentang konsep nafs, roh, qalb.
Penutup
Antara 4 tokoh tasawuf terkemuka awal dalam kawasan Aceh
abad 17 yaitu Hamzah, Syamsuddin, Ar – Raniri dan As – Sinkili mempunyai
pertalian pemikiran tasawuf falsafi secara umum. Seperti terlihat ketika
menjelaskan konsep wujud.
Adapun paham wujud mereka sama – sama mengakui bahwa wujud
hakiki adalah Allah sedangkan alam merupakan wujud yang tergantung dengan wujud
hakiki. Namun demikian ketika menguraikan konsep tersebut muncul perbedaan yang
membawa pengertian bahwa Hamzah dan Syamsuddin menggambarkan hanya ada satu
wujud yang memancarkan wujud lain ( makhluk ) dan itu masih wujud yang
satu, sedangkan ar – Raniri tetap
mengakui 2 wujud tersendiri.
Perbedaan
kedua, terkait dalam perhatian antara syariat dan tasawuf. Ar – Raniri sangat mementingkan syari’at
dalam kehidupan sekalipun menempuh jalan tasawuf, yang berbeda dengan
pendahulunya yang lebih mementingkan hakikat. Namun demikian hasil pemikiran
atau konsep yang kemukakan Hamzah dan Syamsuddin sebetulnya tidak sampai ke
taraf bahwa ia keluar dari muslim atau seperti yang diklaim ar – Raniri sebagai
zindiq, kafir. Sebab konsepnya tersebut tidak ada yang bertentangan dengan
ajaran dasar Islam itu sendiri.
RRR
Kepustakaan
Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syekh Nuruddin
ar – Raniri, Jakarta : Rajawali Press, 1983
Afif Anshori, Tasawuf Falsafi Hamzah Fansuri, Yogyakarta :
Gelombang Pasang, 2004,
Ali,Yunasril, Manusia Citra Ilahi , Jakarta : Paramadina,
1997
Azra,Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan kepulauan
Nusantara abad 17 dan 18, Bandung : Mizan, 1995
Dahlan, Abdul Aziz, Penilaian Teologis atas Paham Wahdatul
Wujud dalam Tasawuf Syamsuddin Sumatrani, Padang : IAIN – Imam Bonjol Press,
1999, Cet. ke - 1
Fathurrahman, Oman, Menyoal Wahdatul Wujud, Kasus Abdurrauf
Sinkel di aceh Abad 17, Bandung : Mizan , 1999, cet. ke - 1
Hadi WM, Abdul,
Tasawuf yang tertindas , Jakarta
: Paramadina, 2001, Cet. ke- 1
Hasyimi, A, Sejarah Masuk dan berkembangnya Islam di
Indonesia, tt : PT Alma’arif, 1993, Cet. ke- 3
Shihab, Alwi, Islam Sufistik, Bandung : Mizan, 2001, Cet. ke- 1
Ensiklopedi Islam ,
Jakarta : Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994,
Cet. ke- 2
Team Penyusun, IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf,
Jakarta : Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, 1983
SEP
Lintasan Kerajaan Aceh*
Penulis mengambil setting sejarah Aceh yang bermula ketika
daerah ini terdiri dari 6 wilayah kerajaan kecil yaitu ; Perlak, Samudera Pase,
Teumiang ( Aceh Timur ), Pidie, Indera Purba dan Indera Jaya. Kemudian muncul
gagasan para elit mereka untuk bersatu dibawah kerajaan Aceh Darussaalam ( Aceh
Besar ) dengan :
Raja Sultan Husain Syah ( 1465 – 1480 )
1514 Awal dari negara Islam Aceh Besar dengan Raja Ali bin
Sultan Syamsu Syah dengan gelar Sultan Ali Mughayat Syah ( 1514 – 30 )
( 1530 – 37 ) Sultan Salahuddin yang akhirnya jatuh ketika
datang Portugis dan Spanyol ke Malaka.
( 1537 – 68 ) Naik pemimpin yang tegas dan kuat Sultan
Alauddin Ri’ayat Syah al – Qahhar dan penentang Portugis.
( 1571 – 79 ) Sultan Ali Ri’ayat Syah
( 1579 – 85 ) Sultan Alauddin Mansur Syah ( menantu Ali
Ri’ayat Syah ) yang berasal dari diraja Perak yang sebelumnya dikalahkan oleh
Ri’ayat Syah. Bahkan putera diraja dari Pahang Sultan Ali Jalla ( Raja Umar )
nantinya kawin dengan puteri Sultan Alauddin Mansur Syah. Pada saat itu Aceh
menguasai perak dan Johor merasa aman dari Portugis. Aceh, Johor, Perak damai
lagi.
Setelah itu antara 1585 –1589 pembesar Aceh mulai menentang
akan Raja yang dianggap bukan keturunan
Mughayat Syah dan hanya menantu maka raja akhirnya terbunuh.
( 1589 – 1604 ) Sultan Alauddin Ri’ayat Syah al – Mukammil.
Mufti Kerajaan Syaikh Hamzah Fansuri ( lk. 1570 – 163…? ). Konflik dengan
belanda dan perang saudara akhirnya Sultan jatuh. Dalam kondisi tidak
menentu muncul pemimpin baru ( orang kuat ), Perkasa Alam - Iskandar Muda.
Sedangkan syamsuddin sudah dikenal juga sebagai ulama Aceh.
( 1607 – 36 ) Iskandar Muda / Mahkota Alam sebagai orang
kuat / muda kerajaan Aceh. Mufti Kerajaan Syaikh Syamsuddin Sumtrani. ( lk. … -
1630 )
( 1636 – 41 ) Sultan Iskandar Tsani ( menantu Iskandar Muda
) yang berasal dari Pahang.
Syaikh Nuruddin ar – Raniri ( muqim 1637 – 1644 )
Pemerintahan Aceh Darussalam abad 17
4 orang sulthanah berturut - turut
1. Safiyatuddin (
1641 – 75 ) yang menggantikan Iskandar Tsani. Ar – Raniri masih sempat
bergabung dengan Sulthanah sebagai mufti kerajaan dengan gelar al – Qadhi al –
Malik al – Adil, selama 2,5 tahun sebelum Ratu
berpaling ke Saiful Rijal ( paham wujudiyah ) dari Minang
2. Nurul Alam
Naqiyatuddin ( 1675 – 8 ) As – Sinkili menang pengaruh yang mengenyampingkan
Saiful Rijal.
3. Zakiyatuddin (
1678 – 88 )
4. Kamalatuddin (
1688 – 99 )
5. 1699 -
Selanjutnya digantikan oleh Umar bin Qadhi al – Malik al – Adil gelar Sultan
Badrul Alam Syarif Hasyim Ba al – Alawi al – Husayni. Ia mendirikan dinasti
Arab Jamal al – Lail. As – Sinkili wafat 1693.
* Dari beberapa sumber
Kari
Perjalanan Tasawuf Indonesia
Pertumbuhan
Hamzah Fansuri – asal dari kampung Fansur dekat Barus,
Sinkel dan Sibolga, wafat di kecamatan
Simpang kiri ( Sinkel ) W. lk. 156 (7)0 - 1607 M. La Ta’ayyun = Ta’ayyun Awal –
Ta’ayyun Tsani – Ta’ayyun Tsalits – Ta’ayyun Rabi’ – Ta’ayyun Khamis.
Syamsuddin Sumatrani asal / besar dan wafat diduga juga di
Pasai ( Samudera Pasai ) W. 1630 M. Martabat 7; Ahadiyah – Wahdah – Wahidiyah –
Alam Arwah – Alam Mitsal – Alam Ajsam – Alam Insan.
Nuruddin ar –Raniri lahir di Ranir India, asalnya ; ayah
seorang Arab India / Hadhrami - ibu
melayu / India. Pamanya Syaikh Muhammad Jailani muqim di Aceh 1583 M. Wujud hakiki – wujud majazi.
Tetap ada 2 wujud.
Abdurrauf as – Sinkili ( 1615 – 1693 M ), ayah dari Persia
menetap di Fansur. Atau ayah dari Arab kawin dengan wanita Fansur – muqim di
Sinkel. A’yan Tsabitah ( Nur Muhammad ) – A’yan Kharijiyah ( wujud kongkret ).
Tetap ada wujud masing – masing.
Murid / Penerus dari Ulama Aceh
Yusuf Khalwati al – Makassari ( 1036 / 1629 –
Syekh Burhanuddin Ulakan Minang w. 1111 / 1691
Perkembangan Tasawuf di Indonesia
Palembang
Abdussamad al – Falimbani w. 1203 / 1788
Shihabuddin bin Abdallah Muhammad ( lk w. 1775 M ),
penasehat Sultan Ahmad Najamuddin
Kemas Fakhruddin ( 1133/1719 – 1177/ 1763 )
Muhammad Muhyiddin bin Syaikh Shihabuddin ( akhir abad 18 )
Kemas Muhammad bin Ahmad ( tarekat Samman ) lk abad 18
Muhammad Ma’ruf bin Abdallah ( abad 18 ) sebagai Khatib
Kesultanan Palembang
Kalimantan
M. Arsyad bin Abdullah al Banjari Martapura (1710 –
1812 / 1122 – 1227 H ) masa Sultan
Banjar Sultan Tahlil Allah 1700 - 1734
M. Nafis bin Idris bin Husein al – Banjari Martapura ( 1148
/ 1735 – 1812 ) keluarga Kesultanan Banjar
Ahmad Khatib as – Sambasi / Syaikh Muhammad Khatib bin Abdul
Gaffar as – Sambasi ( w. lk. 1878 M )
Daud al – Fatani
(Malaysia )
Syaikh Ismail bin Abdullah al – Khalidi / Ismail al -
Minangkabawi ( hidup sekitar 1125 – 1260 H ) tarekat Naqsyabandiyah
Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan mataram lombok ( lk. 1071 /
1650 – 1151 /1730 )Penganut tarekat Syatariyah berkembang di Jawa Barat, Murid
dari as – Sinkili
Haji Hasan Musthafa, Garut – Jawa Barat 1268 / 1852,
martabat tujuh
Sulawesi
Muhammad Aidarus, Buton lahir akhir abad 18, Menjadi Sultan
1824. Tarekat Khalwatiyah Sammaniyah
Anaknya : haji Abdul Hadi, Muhammad Shalih
Haji Abdul Ghani, Buton, lahir akhir abad 18
Pemurnian ( pengaruh Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dll )
Ahmad Khatib al – Minangkabawi w. 1916 / 1334 H
Syekh M. Jamil Jambek w. 1947
Abdullah Ahmad w. 1926
Abdurrauf al – Kurinsyi w. 1928
Abdul Karim Amrullah w. 1945
Ciputat, 18 Juni 2006
Daftar Isi
Pendahuluan
……………………………………………… 2
I. Sekilas Kondisi Sosial Politik Aceh Abad 17 M …………….
3
II. Mengenal Nuruddin ar – Raniri ………………………… 5
A. Ajaran Syari’at
dan Tasawuf ar – Raniri ……………… 8
B. Paham tentang Wujud ………………………… 10
Penutup
………………………………………………….………..… 21
Kepustakaan
………………………………………………………… 22
Lintasan Kerajaan Aceh
………………………………………………. 23
Perjalanan Tasawuf Indonesia ………………………………………. 25
KariMukmin
Polemik antara pemikiran tasawuf falsafi dan tasawuf akhlaki
muncul seiring perkembangan Islam di Nusantara. Setiap tokoh tasawuf dapat
melanggengkan paham tasawufnya karena didukung oleh kerajaan. Tulisan ini
berupaya mengungkap konsep tasawuf ar – Raniri dengan membandingkan pada ajaran
tasawuf sebelumnya. Ar – Raniri dalam menerapkan ajarannya berupaya memurnikan
ajaran tasawuf pendahulunya yang bercorak falsafi yang dianggapnya menyimpang
dari prinsip Islam. Pokok perbedaan ajaran tasawuf ar-Raniri dengan sebelumya
dianalisis mencakup paham wujudiyah. Kemudian diuraikan ajaran ar-Raniri yang memadukan antara syariat dan tasawuf.
Ajaran tasawuf ar – Raniri ini dapat
bertahan karena pemerintah waktu itu Sultan Iskandar Tsani cocok dengan paham
tersebut.
Polemic [of]
[among/between] idea of tasawuf falsafi and tasawuf akhlaki emerge along Islam
growth [in] Nusantara. Each;Every figure tasawuf can be permanent understand
the tasawufnya [of] because supported by empire. This article cope to express
the concept of tasawuf ar - Raniri by comparing [at] previous teaching tasawuf.
Ar - Raniri in applying its teaching cope to purify the its teaching tasawuf
predecessor [is] which have pattern [to] [of] falsafi assumed digress from
Islam principle. Fundamental [of] difference of teaching of tasawuf ar-Raniri
by sebelumya [is] analysed to include;cover the understanding wujudiyah. [Is]
later;then elaborated [by] teaching ar-Raniri which combine [among/between]
syariat and tasawuf. teaching of Tasawuf ar - This Raniri can stay because
government at that time Sultan of Iskandar Tsani fitt in with the the
understanding.
[1] Paling tidak 2 corak tasawuf tersebut. Tasawuf falsafi
dan Tasawuf akhlaki. Keduanya eksis di Aceh pada awalnya.
[2] Team Penyusun, IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu
Tasawuf ( Jakarta : Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, 1983 ), h. 186.
1588 -1604, 1604 – 1607 masa transisi 1607 – 1636 Sultan Iskandar Muda.
[3] Diantaranya; Mohammad Said, Hoesein Djayadiningrat,
Anthoni Reid. Lihat Afif, h. 53
[4] Pada abad 17 ini paling tidak tercatat 4 orang mufti
yaitu Syamsuddin, Nuruddin ar – Raniri, Saiful Rijal, as – Sinkili. Pengaruh
ulama ini tidak hanya mewarnai politik kerajaan tapi juga berpengaruh langsung
pada masyarakat.
[5] Periksa, Azra, Jaringan Ulama, h. 200. Peunoh Daly juga
menemukan hal serupa dalam penelitiannya bahwa dalam buku Mir’atu Thulab
disinyalir as – Sinkili sengaja menyimpan makna kalimat itu.
[6] Ensiklopedi Islam (
Jakarta : Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994 ) Cet. ke- 2, 48
[7] Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti.
Berkaitan dengan orang tuanya ada yang menyebutkan bahwa ayahnya berasal dari
keluarga imigran Hadhrami yang menetap di India, sedangkan ibunya – sebagaimana
dikatakan M. Naqib al – Attas – seorang melayu. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama
Timur Tengah dan kepulauan Nusantara abad 17 dan 18 ( Bandung : Mizan, 1995 ),
h. 169
[8] Azra, h. 172
[9] Tarekat ini sepertinya memang berasal dari gurunya
sendiri yaitu yang terkenal dengan al – Aydarus.
[10] Azra, h. 172
[11] Keberangkatannya ke Aceh serta daerah ini yang
dipilihnya diduga karena Aceh saat itu sudah berkembang dan menjadi pusat
perdagangan, politik, kebudayaan dan pusat studi agama Islam di kawasan
Nusantara menggantikan Malaka yang telah jatuh ke tangan Portugis. Faktor lain
boleh jadi ia menyusul pamannya yang sudah lama menetap di Aceh. Selain itu,
kemungkinan ketika belajar di Arabia ia sudah menjalin hubungan murid – murid
Jawi ( Nusantara ) yang belajar di Arab. Lihat, Ensiklopedi, h. 48
[12] Kalau disebutkan, Syamsuddin wafat tahun 1630 sedangkan
Iskandar Muda memerintah sampai tahun 1636 maka pertanyaannya siapa yang
menjadi mufti kerajaan pengganti Syamsuddin? Sebab ar – Raniri mulai menetap
ketika Iskandar Sani jadi Raja tahun 1637. Penulis tidak menemukan informasi
tentang itu.
[13] Tampaknya masyarakat Aceh waktu itu lebih tertarik
mempelajari tasawuf Islam yang merupakan ekspresi dari pengalaman keberagamaan
dan dapat dirasakan oleh jiwa masyarakat sendiri. Artinya sangat menyentuh pada
pemebentukan sikap dan rasa seseorang. Seperti disebut Azyumardi dengan
mengutip Bustanus Salathin karya ar – Raniri bahwa pamannya dulu pernah
mengajari masyarakat Aceh tentang ajaran tasawuf yang pelik itu dan itu sesuai
tuntutan mereka dalam mempelajari Islam. Azra, h. 170. Ini dapat menjadi
gambaran bahwa pola berpikir kebergamaan masyarakat masa itu sudah tinggi dan
cerdas yang sudah menyentuh hal – hal yang rumit dalam beragama.
[14] Azra, h. 177
[15] Ada dugaan secara politis di Aceh sedang tarik menarik
antara aliran Syi’ah dan Sunni.
[16] Ensiklopedi, h. 48.
[17] Dulunya ia pernah berguru di aceh pada Syaikh Maldin
yang pernah diasingkan keluar Aceh oleh ar – Raniri. Ajaran Syaikh ini agaknya
sisa pengikut Hamzah dan Syamsuddin sebelumnya
[18] Mereka merasa dibangunkan kembali untuk mempelajari
tasawuf wujudiyah Syamsuddin Sumatrani yang sewaktu ar – Raniri di Aceh, paham
tersebut dilenyapkan.
[19] Ensiklopedi, h. 48
[20] Team Penyusun, h. 221
[21] Penelitian mendalam tentang pemikiran ar – Raniri telah
dilakukan oleh Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syekh Nuruddin ar
– Raniri, Jakarta : Rajawali Press, 1983. Sebagaimana juga dikutip oleh Afif
Anshori, Tasawuf Falsafi Hamzah Fansuri, Yogyakarta : Gelombang Pasang, 2004,
h. 228
[22] Ensiklopedi, h. 49
[23] Merespon hal ini ia menulis buku as – Shirath al –
Mustaqim di tanah melayu. Azra, h. 181
[24] Sebagaimana dijelaskan oleh Eaton, Sufis of Bijapur,
lihat Azra, h. 181
[25] Team, h. 222-3
[26] Ensiklopedi, h. 49
[27] Azra, h. 182
[28] Abdul Hadi WM, Tasawuf yang tertindas ( Jakarta :
Paramadina, 2001 ), Cet. ke- 1, h. 159
[29] Team, h. 224
[30] Dikutip oleh Afif dari The Mysticism oleh al – Attas.
Lihat Afif, h. 110
[31] Afif, h. 124
[32] Ahadiyah, Wahdah, Wahidiyah, Alam Arwah, Alam Mitsal,
Alam Ajsam, Alam Insan. Tiga ( 3 ) Pertama sebagai Aniyah Allah, 4 kemudian
sebagai Aniyah makhluk. Lebih jauh lihat; Aziz Dahlan, tentang martabat 7.
[33] Hasil Seminar dengan Prof. Dr .M. Ardani di
pascasarjana ( S3 ) hari Jumat, 17 Maret 2006.
[34] Apalagi kalau dilihat sejarah masuknya ar –Raniri ke
Aceh yang tidak sepaham dengan politik saat itu membuat dia tidak tahan di
Aceh.
[35] Seperti
dijelaskan oleh Prof. Dr. M. Ardani, Jumat, 6 April 2006 di pascasarjana ( S3
).
Nama lengkapnya, Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji
Al-Hamid (atau Al-Syafi’i Al-Asyary Al-Aydarusi Al-Raniri (untuk berikutnya
disebut Al-Raniri). la dilahirkan di Ranir (Randir), sebuah kota pelabuhan tua
di Pantai Gujarat, sekitar pertengahan kedua abad XVI M. Ibunya seorang
keturunan Melayu, sementara ayahnya berasal dari keluarga imigran Hadhramaut
(Al-Attas: 1199 M). Seperti ketidak pastian tahun kelahiran, asal usul
keturunan Al-Raniri pun memuat dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, nenek
moyangnya adalah keluarga Al-Hamid dari Zuhra (salah satu dari sepuluh keluarga
Quraisy). Sementara kemungkinan yang lain Al-Raniri dinisbatkan pada Al-Humayd,
orang yang sering dikaitkan dengan Abu Bakr ‘Abd Allah b. Zubair Al-As’adi
Al-Humaydi, seorang mufti Makkah dan murid termasyhur Al-Syafii (Azra 1994).
Daerah asal Al-Raniri, sebagaimana layaknya kota-kota pelabuhan yang lain, kota
Ranir sangat ramai dikunjungi para pendatang (imigran) dari berbagal penjuru
dunia. Ada yang berasal dari Timur-Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika,
dan Eropa. Tujuan utama mereka untuk melakukan aktifitas bisnis dan mencari
sumber-sumber ekonomi baru. Di samping itu, mereka juga berdakwah dan
menyebarluaskan ilmu-ilmu agama, sehingga menghabiskan waktu berbulan-bulan,
bahkan bertahun-tahun. Dari Ranir pula, mereka kemudian berlayar kembali menuju
pelabuhan-pelabuhan lain di Semenanjung Melayu dan Hindia untuk keperluan yang
sama. Jadilah orang Ranir dikenal sebagai masyarakat yang gemar merantau dari
satu tempat ke tempat yang lain. Pola hidup yang berpindah-pindah seperti ini
juga terjadi pada keluarga besar Al-Raniri sendiri, yaitu ketika pamannya,
Muhammad Al-jilani b. Hasan Muhammad Al-Humaydi, datang ke Aceh (1580-1583 M)
untuk berdagang sekaligus mengajar ilmu-ilmu agama, seperti fiqh, ushul fiqh,
etika, manthiq, dan retorika. Kebanyakan dari mereka (perantau) biasanya
menetap di kota-kota pelabuhan di pantai Samudera Hindia dan wilayah-wilayah
kepulauan Melayu-Indonesia, lainnya (Azra: 1994). Jejak-jejak Intelektual
Al-Raniri Al-Raniri sendiri memulai perjalanan intelektualnya dengan belajar
ilmu agama di tanah kelahirannya (Ranir), sebelum berkelana ke Tarim,
Hadramaut, Arab Selatan, yang ketika itu menjadi pusat studi agama Islam. Pada
tahun 1621 M, ia mengunjungi Makkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji
dan berziarah ke makam Nabi. Di tanah haram inilah Al-Raniri menjalin hubungan
dengan para jamaah haji dan orang-orang yang sudah menetap dan belajar di Arab,
yang kebetulan berasal dari wilayah Nusantara. Dalam kapasitas seperti ini,
Al-Raniri sudah dapat dikategorikan telah menjalin hubungan dengan orang-orang
Melayu, khususnya dalam hal komunikasi intelektual Islam. Jalinan hubungan
inilah yang menjadi awal mula bagi perjalanan intelektual Islam Al-Raniri di
kemudian hari. Dalam perkembangannya, Al-Raniri juga merupakan seorang syeikh
tarekat Rifa’iyyah, yang didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 1183 M). Ia belajar
ilmu tarekat ini melalui ulama keturunan Arab Hadramaut, Syeikh Said Abu Hafs
Umar b. ‘Abd Allah Ba Syaiban dari Tarim, atau yang dikenal di Gujarat dengan
sebutan Sayid Umar Al Aydarus. Sementara Ba Syaiban sendiri belajar tarekat
dari ulama-ulama Haramain selama empat tahun, seperti Sayyid Umar b.’Abd Allah
Al-Rahim Al-Bashri (w. 1638), Ahmad Ibrahim b. Alan (w. 1624 M), dan ‘Rahman
Al-Khatib Al-Syaib 1605 M). Dari Ba Syaiban pulalah Al-Raniri dibaiat sebagai
khalifah (penggantinya) untuk menyebarluaskan tarekat Rifaiyyah di tanah Melayu
(Aboebakar Atjeh: 1979). Kendati demikian, Al-Raniri juga memiliki silsilah
inisiasi dengan tarekat Aydarusiyyah dan Qodiriyyah Maqassari: tt). Setelah
beberapa tahun melakukan perjalanan intelektual di Timur-Tengah dan wilayah
anak benua India, Al-Raniri mulai merantau ke wilayah Nusantara dengan memilih
Aceh sebagai tempat tinggalnya. la datang di Aceh pada tanggal 31 Mei 1637 M (6
Muharram 1047 H), namun hingga kini belum diketahui secara pasti faktor-faktor
apa saja yang mempengaruhinya memilih Aceh. Pilihan ini diduga karena ketika
itu Aceh berkembang menjadi pusat perdagangan, kebudayaan, politik dan agama
Islam di kawasan Asia Tenggara, yang menggantikan posisi Malaka setelah
dikuasai oleh Portugis, M). Adapun kemungkinan lainnya, Al-Raniri mengikuti
pamannya, Syeikh Muhammad Jailani b. Hasan b. Muhammad Hamid (1588 M). Tidak
hanya itu, tahun 1637 diragukan sebagai awal mula kedatangan Al-Raniri di Aceh.
Ada dua keraguan yang menyebabkan hal itu. Pertama, jika dilihat dari
kemahirannya dalam berbahasa Malayu, sebagaimana ditunjukkan dalam
kitab-kitabnya, maka sangat mustahil Al-Raniri baru ke Aceh pada tahun
tersebut. Shirat al-Mustaqim, misalnya, yang berbahasa Melayu disususn pada
tahun 1634, ketika belum menetap di Aceh. Sementara keraguan kedua, jumlah
karya-karyanya yang menyampai 29 buku tidak mungkin dapat diselesaikan hanya
dalam waktu tujuh tahun selama di Aceh (1637-1644 M). Dua keraguan inilah yang
memperkuat asumsi bahwa sebelumnya Al-Raniri pernah datang ke Aceh, tetapi
waktu itu tidak memperoleh sambutan dan penerimaaan yang layak dari pihak
istana Sultan Iskandar Muda. Dari sini, ia melanjutkan perjalanannya ke daerah
lain di kawasan ini. Sebagaimana tercatat dalam sejarah Kesultanan Aceh ketika
Iskandar Muda berkuasa, ulama yang berpengaruh dan berperan sebagai mufti
kerajaan adalah Syeikh Syams Al-Din Al-Sumaterani. Pada masa ini paham
wujudiyyah menjadi ajaran resmi kerajaan. Sementara Al-Raniri menyerukan ajaran
Sunni dan menentang paham wujudiyyah jelas kurang mendapat simpati dari Sultan
Setelah Syeikh Al-Sumaterani meninggal, kemudian disusul pula oleh Sultan
Iskandar Muda dalam beberapa waktu sesudahnya, Al-Raniri memiliki kesempatan
yang lebih baik untuk menyebarluaskan ilmu-ilmu agamanya. Ketika itu, sultan
yang berkuasa, Sultan Iskandar Tsani, menantu Iskandar Muda, memberikan
penghormatan tinggi kepada Al-Raniri dengan menjadikannya mufti kerajaan.
Seperti Al-Raniri, Sultan Iskandar Tsani juga menentang paham wujudiyyah.
Dengan kedudukan dan dukungan seperti ini, Al-Raniri dengan leluasa dapat
memberikan sanggahan terhadap paham yang dikembangkan oleh dua ulama Aceh
sebelumnya, Hamzah Fansuri dan Syams Al-Din Al-Sumaterani. Tidak hanya itu, Al-Raniri
juga sering menerima permintaan dari sultan untuk menulis kitab-kitab agama,
terutama tentang tasawuf, dalam rangka membatasi pengaruh paham wujudiyyah di
Aceh. Kedekatan Al-Raniri dengan Sultan ini membawa implikasi yang cukup luas.
Misalnya, dalam satu kesempatan dan didukung oleh Sultan, Al-Raniri mengadakan
majelis persidangan dengan 40 ulama pendukung paham wujudiyyah guna membahas
paham tersebut. Dari sidang ini kemudian lahir fatwa Syeikh Al-Raniri dan para
ulama istana yang menghukumi kafir terhadap para pengikut paham wujudiyyah,
sehingga boleh dbunuh. Tidak hanya sampai disini, Al-Raniri dengan penuh
semangat menulis dan sering berdebat dengan para penganut paham panteisme ini
dalam banyak kesempatan. Bahkan, perdebatan itu sering dilakukan dihadapan
sultan. Dalam berdebat, dengan segala kemahirannya, ia berupaya keras
membongkar kelemahan dan kesesatan paham wujudiyyah yang dianggapnya
bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits, seraya meminta para pengikutnya untuk
bertaubat dan kembali pada jalan yang benar (Al-Qur’an dan Hadits). Namun,
kegigihan Al-Raniri ini tidak banyak memenuhi target yang diharapkan. Sebab
para pengikut paham wujudiyyah tetap bersikukuh pada pendiriannya. Sehingga
akhirnya dengan penuh keterpaksaan, mereka harus dihukum mati. Selain itu,
untuk membumihabguskan paham wujudiyyah, maka kitab-kitab wujudiyyah-nya
Harnzah dan Syams Al-Din dibakar di depan masjid Baiturrahman Banda Aceh.
Setelah tujuh tahun sebagai mufti kerajaan, pada tahun 1644 Al-Raniri tiba-tiba
kembali ke tanah kelahimnnya, dan tidak kembali lagi ke Aceh. Ketika itu,
Al-Raniri sedang menulis kitab jawahir baru sampai bab kelima. Dan selanjutnya,
ia perintahkan salah seorang murid dekatnya untuk menyelesaikan kitab tersebut.
Kepulangan Al-Raniri yang secara mendadak ini menimbulkan. pertanyaan. di
kernudian hari. Pertama, sebagaimana diungkapkan oleh A. Daudy dalam bukunya,
Syeikh Nuruddin AI-Raniri, Al-Raniri kembali ke tanah leluhurnya karena ada
ketidaksesuaian dengan kebijakan Sultanah Safiyyat al-Din yang berencana
menghukum bunuh pada orang-orang yang menentang diperintah oleh seorang
pemimpin perempuan. Sebagaimana berkembang dalarn tradisi masyarakat saat itu
dan juga seiring dengan syari’at Islam yang dipahami masyarakat setempat,
perempuan tidak layak jadi penguasa. A. Daudy memperkirakan bahwa Al-Raniri
termasuk bagian dari kelompok penentang tersebut. Kedua, berdasarkan artikel
Takeshi Ito pada tanggal 8 dan 22 Agustus 1643 dilaporkan, bahwa kepulangan
Al-Raniri disebabkan karena perdebatan antara dirinya dengan ulama baru
keturunan Minangkabau, Sayf Al-Rijal. Perdebatan ini terus berlarut-larut
karena Al-Raniri selalu menilai pandangan Sayf Al-Rijal sebagai doktrin “sesat”
karena termasuk paham wujudiyyah. Pada mulanya, Sultanah mengikuti pikiran-pikiran
Al-Raniri, tetapi saat itu pendapat Rijal menemukan momentum terbaiknya di mata
sultanah. Nampaknya, alasan yang terakhir atas lebih mendekati kebenaran.
Pasalnya, jika Al-Raniri tergabung dalam kelompok oposan yang menentang
Sultanah, bagaimana mungkin Sultanah memberikan banyak kemudahan dan fasilitas
dalam menyelesaikan karya-karyanya, termasuk beberapa waktu sebelum
keberangkatannya. Meski demikian, terlepas apa yang melatarbelakangi kepulangan
Al-Raniri, ia tergolong salah satu ulama besar yang telah memberikan sumbangsih
besar bagi dunia Islam Nusantara, terutama dalam bidang tasawuf dan fiqh.
Bahkan,secara metodologis, pikiran-pikiran Raniri memiliki keterkaitan dengan
kehidupan tradisional Islam Indonesia. Banyak perkara menarik mengenai ulama ini,
di antaranya kitab fikah dalam bahasa Melayu yang pertama sekali berjudul
ash-Shirath al-Mustaqim adalah karya beliau. Demikian juga mengenai kitab hadis
yang berjudul al-Fawaid al-Bahiyah fi al-Ahadits an-Nabawiyah atau judul
lainnya Hidaya al-Habib fi at-Targhib wa at-Tarhib, adalah kitab membicarkan
hadis yang pertama sekali dalam bahasa Melayu. Hampir semua penulis menyebut
bahawa Syeikh Nuruddin ar-Raniri dilahirkan di Ranir, berdekatan dengan
Gujarat. Asal usul beliau ialah bangsa Arab keturunan Quraisy yang berpindah ke
India. Tetapi salah seorang muridnya bernama Muhammad ‘Ali atau Manshur yang
digelarkan dengan Megat Sati ibnu Amir Sulaiman ibnu Sa’id Ja’far Shadiq ibnu
‘Abdullah dalam karyanya Syarab al-’Arifin li Ahli al-Washilin menyebut bahawa
Syeikh Nuruddin ar-Raniri adalah “Raniri negerinya, Syafi’ie nama mazhabnya,
Bakri bangsanya.” Pendidikan asasnya dipercayai diperolehnya di tempat
kelahirannya Raniri atau Rander. Raniri/Rander, sebahagian riwayat mengatakan
berdekatan dengan Kota Surat, dan riwayat lain mengatakan dekat Bikanir,
kedua-duanya di negeri India. Syeikh Nuruddin ar-Raniri berhasil berangkat ke
Mekah dan Madinah dalam tahun 1030 H/1621 M dan di sana beliau sempat belajar
kepada Syeikh Abu Hafash ‘Umar bin ‘Abdullah Ba Syaiban atau nama lain ulama
ini ialah Saiyid ‘Umar al-’Aidrus. Kepada ulama ini beliau mengambil bai’ah
Thariqat Rifa’iyah. Dalam sektor Thariqat Rifa’iyah itu syeikh yang tersebut
adalah murid kepada Syeikh Muhammad al-’Aidrus. Selain Thariqat Rifa’iyah, Syeikh
Nuruddin ar-Raniri juga pengamal Thariqat Qadiriyah. Kedatangan Syeikh Nuruddin
ar-Raniri buat pertama kalinya ke Aceh diriwayatkan dalam tahun 1577 M, tetapi
ada juga ahli sejarah mencatat bahawa beliau sampai di Aceh pada tahun 1637 M.
Ini bererti setahun setelah mangkatnya Sultan Iskandar Muda (memerintah dari
tahun 1606 M hingga 1636 M). Syeikh Nuruddin ar-Raniri seakan-akan kedatangan
pembawa satu pendapat baru, yang asing dalam masyarakat Aceh. Setiap sesuatu
yang baru selalu menjadi perhatian dan pengamatan orang, sama ada pihak kawan
atau pun pihak lawan. Fahaman baru yang dibawa masuk oleh Syeikh Nuruddin
ar-Raniri itu ialah fahaman anti atau penolakan tasawuf ajaran model Syeikh
Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i. Kedua-dua ajaran ulama
sufi itu adalah sesat menurut pandangan beliau. Syeikh Nuruddin ar-Raniri
mendapat tempat pada hati Sultan Iskandar Tsani, yang walaupun sebenarnya pada
zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda beliau tidak begitu diketahui oleh
masyarakat luas. Oleh sebab ketegasan dan keberaniannya ditambah lagi, Syeikh
Nuruddin ar-Raniri menguasai berbagai-bagai bidang ilmu agama Islam,
mengakibatkan beliau sangat cepat menonjol pada zaman pemerintahan Sultan
Iskandar Tsani itu. Akhirnya Syeikh Nuruddin ar-Raniri naik ke puncak yang
tertinggi dalam kerajaan Aceh, kerana beliau mendapat sokongan sepenuhnya
daripada sultan. Beliau memang ahli dalam bidang ilmu Mantiq (Logika) dan ilmu
Balaghah (Retorika). Dalam ilmu Fikah, Syeikh Nuruddin ar-Raniri adalah penganut
Mazhab Syafie, walaupun beliau juga ahli dalam ajaran mazhab-mazhab yang
lainnya. Dari segi akidah, Syeikh Nuruddin ar-Raniri adalah pengikut Mazhab
Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang berasal daripada Syeikh Abul Hasan al-Asy’ari dan
Syeikh Abu Manshur al-Maturidi. Pegangannya dalam tasawuf ialah beliau adalah
pengikut tasawuf yang mu’tabarah dan pengamal berbagai-bagai thariqah sufiyah.
Tetapi suatu perkara yang aneh, dalam bidang tasawuf beliau menghentam
habis-habisan Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i.
Walau bagaimanapun Syeikh Nuruddin ar-Raniri tidak pernah menyalahkan, bahkan
menyokong Syeikh Muhyuddin ibnu ‘Arabi, Abi Yazid al-Bistami, ‘Abdul Karim
al-Jili, Abu Manshur Husein al-Hallaj dan lain-lain. Perkataan yang bercorak
’syathahiyat’ yang keluar daripada ulama-ulama sufi yang tersebut itu tidak
pernah beliau salahkan tetapi sebaliknya perkataan yang bercorak ’syathahiyat’
yang berasal daripada Syeikh Hamzah al- Fansuri dan Syeikh Syamsuddin
as-Sumatra-i selalu ditafsirkan secara salah oleh Syeikh Nuruddin ar-Raniri. Di
dalam karyanya Fath al-Mubin ‘ala al-Mulhidin, Syeikh Nuruddin ar-Raniri
berpendapat bahawa al-Hallaj mati syahid. Katanya: “Dan Hallaj itu pun syahid
fi sabilillah jua.” Padahal jika kita teliti, sebenarnya Syeikh Hamzah
al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i itu pegangannya tidak ubah dengan
al-Hallaj. Ajaran Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i
berpunca daripada ajaran Syeikh Muhyuddin ibnu ‘Arabi, Syeikh Abi Yazid
al-Bistami, Syeikh ‘Abdul Karim al-Jili dalam satu sektor. Dan bahagian lain
juga berpunca daripada ajaran Imam al-Ghazali, Syeikh Junaid al-Baghdadi dan
lain-lain, adalah dipandang muktabar, sah dan betul menurut pandangan ahli
tasawuf. Bahawa ajaran tasawuf telah berurat dan berakar di kalbi, bahkan telah
mesra dari hujung rambut hingga ke hujung kaki, dari kulit hingga daging, dari
tulang hingga ke sumsum pencinta-pencintanya, yang tentu saja mereka mengadakan
tentangan yang spontan terhadap Syeikh Nuruddin ar-Raniri. Bahkan kepada siapa
saja yang berani menyalah-nyalahkan pegangan mereka. Pengikut-pengikut Syeikh
Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i menganggap kedua-dua guru
mereka adalah wali Allah, yang faham terhadap pengetahuan syariat, tarekat, haqiqat
dan makrifat. Mereka beranggapan, walaupun diakui bahawa Syeikh Nuruddin
ar-Raniri sebagai seorang ulama besar, yang dikatakan juga telah mengetahui
ilmu tasawuf, namun tasawuf yang diketahui oleh Syeikh Nuruddin ar-Raniri itu
hanyalah tasawuf zahir belaka. Bahawa beliau hanyalah mengetahui kulit ilmu
tasawuf, tetap tidak sampai kepada intipati tasawuf yang sebenar-benarnya.
Bahawa beliau baru mempunyai ilmu lisan sebagai hujah belaka, tetapi belum
mempunyai ilmu kalbi, yang dinamakan juga dengan ilmu yang bermanfaat. Oleh
itu, wajiblah mereka membela guru mereka yang mereka sanjung tinggi itu. Selama
menetap di Pahang atau pun setelah beliau pindah ke Aceh, ramai penduduk yang
berasal dari dunia Melayu belajar kepada ulama besar yang berasal dari India itu,
namun sampai riwayat ini saya tulis, belum dijumpai tulisan yang menyenaraikan
nama murid-murid Syeikh Nuruddin ar-Raniri. Untuk memulakan penjejakan
mengenainya di sini dapat saya perkenalkan hanya dua orang, iaitu: Syeikh Yusuf
Tajul Mankatsi/al-Maqasari al-Khalwati yang berasal dari Makasar/tanah Bugis.
Tidak begitu jelas apakah Syeikh Yusuf Tajul Khalwati ini belajar kepada Syeikh
Nuruddin ar-Raniri sewaktu beliau masih di Aceh atau pun Syeikh Yusuf datang
menemui Syeikh Nuruddin ar-Raniri di negerinya, India. Sementara pendapat lain
menyebut bahawa Syeikh Yusuf Tajul Khalwati benar-benar dapat berguru kepada
Syeikh Nuruddin ar-Raniri sewaktu masih di Aceh lagi, dan Syeikh Yusuf Tajul
Khalwati menerima bai’ah Tarekat Qadiriyah daripada Syeikh Nuruddin ar-Raniri.
Yang seorang lagi ialah Syeikh Muhammad ‘Ali, ulama ini berasal dari Aceh.
Pengaruh Al-Raniri Berdasarkan paparan sebelumnya, Al-Raniri merupakan sosok
ulama yang memiliki banyak keahlian. Dia seorang sufi, teolog, faqih (ahli
hukum), dan bahkan politisi. Keberadaan Al-Raniri seperti ini sering
menimbulkan banyak kesalahpahaman, terutama jika dilihat dari salah satu aspek
pemikiran saja. Maka sangat wajar, jika beliau dinilai sebagai seorang sufi
yang sibuk dengan praktek-praktek mistik, padahal di sisi lain, Al-Raniri
adalah seorang faqih yang memiliki perhatian terhadap praktek-praktek syariat.
Oleh karena itu, untuk memahaminya secara benar, haruslah dipahami semua aspek
pemikiran, kepribadian dan aktivitasnya (Azra: 1994). Keragaman keahlian
Al-Raniri dapat dilihat kiprahnya selama. di Aceh. Meski hanya bermukim dalam
waktu relatif singkat, peranan Al-Raniri dalam perkembangan Islam Nusantara
tidak dapat diabaikan. Dia berperan membawa tradisi besar Islam sembari
mengeliminasi masuknya tradisi lokal ke dalam tradisi yang dibawanya tersebut.
Tanpa mengabaikan peran ulama lain yang lebih dulu menyebarkan Islam di negeri
ini, Al-Ranirilah yang menghubungkan satu mata rantai tradisi Islam di Timur
Tengah dengan tradisi Islam Nusantara. Bahkan, Al-Raniri merupakan ulama
pertama yang membedakan penafsiran doktrin dan praktek sufi yang salah dan
benar. Upaya seperti ini memang pernah dilakukan oleh para ulama terdahulu,
seperti Fadhl Allah Al-Burhanpuri. Namun, Al-Burhanpuri tidak berhasil
merumuskannya dalam penjabaran yang sisternatis dan sederhana, malahan
membingungkan para pengikutnya, sehingga Ibrahim Al-Kurani harus
memperjelasnya. Upaya-upaya lebih lanjut tampaknya pernah juga dilakukan oleh
Hamzah Fansuri dan Samsuddin Al-Sumaterani, tetapi keduanya gagal memperjelas
garis perbedaan antara Tuhan dengan alam dan makhluk ciptaannya (Azra: 1994).
Oleh karena itu, dalam pandangan Al-Raniri, masalah besar yang dihadapi umat
Islam, terutama di Nusantara, adalah aqidah. paham immanensi antara Tuhan makhluknya
sebagaimana dikembangkan oleh paham wujudi”ah merupakan praktek sufi yang
berlebihan. Mengutip doktrin Asy’ariyyah, Al-Raniri berpandangan bahwa antara
Tuhan dan alam raya terdapat perbedaan (mukhalkfah), sementara antara manusia
dan Tuhan terdapat hubunpn transenden. Selain secara umum Al-Raniri dikenal
sebagai syeikh Rifaiyyah, ia juga memiliki mata rantai dengan tarekat
Aydarusiyyah dan Qadiriyyah. Dari tarekat Aydarusiyyah inilah Al-Raniri dikenal
sebagai ulama yang teguh mernegang akar-akar tradisi Arab, bahkan simbol-simbol
fisik tertentu dari budayanya, dalam menghadapi lokal. Tidak hanya itu,
ketegasan Al-Raniri dalam menekankan adanya keselarasan antara praktek mistik
dan syari’at merupakan bagian dari ajaran tarekat Aydarusiyyah. Dari paparan di
atas, sepintas memang belum banyak pembaruan yang telah dilakukan oleh
Al-Raniri, kecuali mempertegas paham Asy’ariyyah, memperjelas praktek-praktek
syariat, dan sanggahan terhadap paham wujudiyyah. Di sinilah dibutuhkaan
kejelian untuk memandang Al-Raniri secara utuh, baik kirah, pikiran maupun
karya-karyanya (Azra: 1994). Bahkan, dari catatan sanggahan Al-Raniri terhadap
paham wujudiyyahlah dapat ditemukan, sejumlah pembaruanterutama dalam hal
metodologi. penulisan ilmiah, dimana beliau selalu mencantumkaan argumentasi
berikut referensinya. Dari cara seperti ini pula dalam perkembangannya
ditemukan sejumlah ulama -ulama baru yang belum pernah diungkap oleh
penulis-penulis lain sebelumnya, berikut pemikiran-pemikiran yang baru. Meski
Al-Raniri berpengaruh besar dalam perkembangan Islam Nusantara, tetapi hingga
kini belum ditemukan para muridnya secara langsung, kecuali Syeikh Yusuf
Al-Maqassari. Al-Maqassari dalam kitabnya, Safinat al-Najah menjelaskan bahwa
dari Al-Ranirilah diperoleh silsilah tarekat Qadiriyyah, karena Al-Raniri
adalah guru sekaligus syeikhnya. Hanya saia, bukti ini belum dianggap valid,
karena belum diketahui kapan dan dimana mereka bertemu. Kesulitan lainnya juga
akan muncul ketika dicari hubungan dan jaringan Al-Raniri dengan para ulama
lain penyebar agama Islam di wilayah Nusantara, ataupun para ulama asli
Nusantara yang berkelana sampai ke Timur-Tengah. Yang ada hanyalah kemungkinan
bertemunya Al-Raniri dengan para jamaah haji dan para pedatang dari Nusantara
yang kebetulan menuntut ilmu di tanah haram, tepatnya ketika Al-Raniri bermukim
di Makkah dan Madinah (1621 M). Pertemuan inilah yang diduga adanya komunikasi
langsung dengan para muridnya dari Nusantara, termasuk dengan Al-Maqassari.
Kesulitan ini juga terus berlanjut, jika dikaitkan dengan keingianan mencari
hubungan Al-Raniri dengan dunia pesantren di wilayah Nusantara. Pasalnya,
selain tiada literatur yang menunjukkan hal tersebut, manuskrip-manuskrip yang
berkaitan dengan pesantren pun tidak menunjukkan adanya hubungan tersebut.
Meski demikian, bukan berarti Al-Raniri tidak memiliki keterkaitan sama sekah
dengan dunia pesantren. Setidaknya, peran Al-Maqassari dan para jamaah haji
serta para muridnya di Makkah dan Madinah yang kemudian kembali ke tanah air
merupakan keterkaitan tidak langsung Al-Raniri dengan dunia pesantren di
Indonesia. Ada yang berpendapat bahawa beliau meninggal dunia di India.
Pendapat lain menyebut bahawa beliau meninggal dunia di Aceh. Ahmad Daudi,
menulis: “Maka tiba-tiba dan tanpa sebab-sebab yang diketahui, Syeikh Nuruddin
ar-Raniri meninggalkan Serambi Mekah ini, belayar kembali ke tanah tumpah
darahnya yang tercinta, Ranir untuk selama-lamanya. Peristiwa ini terjadi pada
tahun 1054 H (1644 M).” Bahawa beliau meninggal dunia pada 22 Zulhijjah 1069 H/21
September 1658 M. Tetapi Karel A. Steenbrink dalam bukunya, Mencari Tuhan
Dengan Kacamata Barat berpendapat lain, bahawa hingga tahun 1644 M bererti
Syeikh Nuruddin masih berada di Aceh. Menurutnya terjadi diskusi yang terlalu
tajam antara beberapa kelompok pemerintah: Seorang uskup agung (ar-Raniri) di
satu pihak dan beberapa hulubalang dan seorang ulama dari Sumatera Barat di
pihak lain. Pihak yang anti ar-Raniri akhirnya menang, sehingga ar-Raniri
dengan tergesa-gesa kembali ke Gujarat. Tulisan Karel itu barangkali ada
benarnya, kerana secara tidak langsung Syeikh Nuruddin mengaku pernah kalah
berdebat dengan Saiful Rijal, penyokong fahaman Syeikh Hamzah al-Fansuri dan
Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i, perkara ini beliau ceritakan dalam kitab Fath
al-Mubin. Ada pun tempat meninggalnya, H.M. Zainuddin, berbeza pendapat dengan
Ahmad Daudi di atas. Menurut Zainuddin dalam Tarich Atjeh Dan Nusantara, jilid
1, bahawa terjadi pertikaian di istana, dalam perebutan itu telah terbunuh
seorang ulama, Faqih Hitam yang menentang tindakan Puteri Seri Alam. Dalam pada
itu Syeikh Nuruddin diculik orang, kemudian mayatnya diketemukan di Kuala Aceh.
Menurut H.M. Zainuddin pula, bahawa makam Syeikh Nuruddin itu dikenal dengan
makam keramat Teungku Syiahdin (Syeikh Nuruddin ar-Raniri) terletak di Kuala
Aceh. Dalam masa pemerintahan Iskandar Muda, kerajaan Aceh maju, ajaran sufi
tidak menghalang kemajuan yang berasaskan Islam. Sebaliknya masa pemerintahan
Iskandar Tsani, ajaran sufi dianggap sesat, ternyata kerajaan Aceh mulai
menurun. Bantahan terhadap sesuatu pegangan yang pernah berkembang di dunia
Islam perlulah ditangani dengan penuh kebijaksanaan. Siapa saja yang memegang
urusan keislaman janganlah tersalah penilaian, sering terjadi yang benar
menjadi salah, atau sebaliknya yang salah menjadi benar. Sumber :
http://tamanulama.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar