Senin, 02 April 2012

PENDAHULUAN
Peradaban modern yang dimulai di barat sejak abad XVII merupakan awal kemenangan supremasi rasionalisme dan imperisme dari dogmatisme agama.[1]kenyataan ini dapat dipahami karena abad modern barat cendrung memisahkan ilmu pengetahuan dan filsafat dari agama yang kemudian di kenal dengan jargon sekularisme. Perpaduan antara rasionalisme dan imperisme dalam satu paket epistemology melahirkan yang oleh T. H. Hexley disebut, scientific method (metode ilmiah).

Penemuan metode ilmiah yang berwatak impiris dan rasional secara menakjuban membawa sain yang luarbiasa canggihnya sehingga melahirkan kemudahan, disamping melahirkan kehidupan dan paradigma pemikiran baru.[2] Penomna serba mudah dan baru ini merupkan wujud akselerasi dar pemikiran filsafat barat modern.

Filsafat barat modern memandang manusia bebas  dari segala kekuatan di luarnya, dan kebebasan itu terjadi lewat pengetahuan rasional. Manusia seolah digiring untuk memikirkan dunia  an-sicch sehingga tuhan, surga, neraka, dan persoalan-persoalan eskatologis tidak lagi menjadi pusat pemikiran. Mereka menjadi bebas dari segala macam magis, relegi, kepercayaan, dan semua yang mereka anggap irasional.[3] Manusia diangkat mertabatnya menjadi makhluk bebas dan otonom sebagai mana tergambar dalam pemikiran Descartes, Imanuel kant, Sartre, dan Frederich Nietzche,

Atas dasar itu, abad modern menyiratkan zaman ketika manusia menemukan dirinya sebagai kekuatan yang dapat menyelesaikan berbagai persoalan hidupnya. Mereka cenderung melepaskan diri dari keterikatan dengan tuhan (theomorphisme), untuk selanjutnya membangun tatanan yang berpusat pada manusia (anthropomorphism). Manusia dipandang sebagai makhluk bebas dan independent dari tuhan dan alam karena manusia menjadi tuan atas nasibnya sendiri dari sini terjadilah apa yag disebut dengan kultus persona. Sebagai kelanjutan dari kultus persona ini adalah berkembangnya gagasan tentang kebebasan dan utopia, yang berdiri sendiri tampa dasar kosmis atau tampa hubungan dengan the hingher cionsciousnees. Akibat kultus persona ini ialah makin mendominasinya tenik dalam kehidupan, dalam ideology kapitalisme, yang berepek membebaskan dan menciptakan _meminjam istilah Anthony Zeiberfield- abstrack society,[4] atau dalam bahasa rollo may disebut sebagai manusia dalam kerangkeng, satu istilah yang menggambarkan salah satu derita manusia yang sedang dihipnotis atmosfer modernitas. Pola hidup manusia menjadi serba dilayani oleh perangkat teknologi yang serba otomat dan canggih, yang pada gilirannya akan membuat manusia lengah dan tidak menyadari bahwa demensi spiritualnya terdistorsi. Kita sedang menyaksikan tercabutnya akar spiritualitas dari panggung kehidupan gobal.

Ditengah kancah kehidupan global tersebut terdapat penomena pada kelompok social tertentu yang terperangkap keterasingan yang dalam bahasa sosilog disebut alienasi. Manusia modern seperti itu sebenarnya manusia yang sudah kehilangan makna, manusia kosong the hollow man. para sosiolog memandang bahwa gejala alienasi ini disebabkan oleh:
  1. perubahan social yang berlangsung sangat cepat.
  2. Hubungan hangat antar manusia telah berubah menjadi hubungan yang gersang.
  3. Lembaga tradisional telah berubah menjadi lembaga rasional.
  4. Masyarakat yang homogen telah berubah menjadi hiterogen.
  5. Stabilitas social telah berubah menjadi mobilitas social.[5]

Berbeda dengan para sosiolog, Husein Nasr menilai bahwa alienasi di sebabkan karena peradaban modern yang bermula dari barat dibangun dari penolakan (negation) terhadap hakikat ruhaniah secara  gradual dalam kehidupan manusia. Akibatnya manusia lupa esistensinya sebagai ‘abid (hamba) dihadapan tuhan karena telah terputus akar-akar spiritualitas. Hal ini merupakan penomena betapa manusia modern memiliki spiritualitas yang sangat akut. Pada gilirannya, mereka cenderung tidak mampu menjawab berbagai persoalan kehidupanya, dan kemudian terperangkap dalam kehampaan dan ketidak bermaknaan hidup[6].


A.    Biografi Nuruddin Ar-Raniri dan Pemikiran Tasaufnya.
Nama lengkapnya adalah Nur Ad-Din Muhammad ibn’Ali ibn Hasanji ibn Muhammad Ar-Raniri. Silsilah keturunan Al-Raniri berasal dari India, keturunan Aceh. Di panggil Al-Raniri karena dilahirkan didaerah Ranir (Rander) yang terletak di Gujarat India pada tahun yang tidak diketahui. Ia meninggal pada 22 zulhijjah 1096H/ 21 September 1658 M di India. Pendidikannya dimulai dengan belajar di tempat kelahirannya, kemudian dilanjutkan ke Tarrim (Arab Selatan). Dari kota ini kemudian ia pergi ke Mekah pada tahun 1030 H/1582 M untuk melaksanakan ibadah haji dan ziarah ke Madinah.[7]

Menurut R. Hoesain Djajadiningrat, Nurudin untuk pertama kalinya berada di Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda. Kemudian ia meninggalkan aceh kerena tidak mendapatkan perhatian dari Sultan yang berkuasa ketika itu. Pada zaman Iskandar Sani ia kembali lagi ke Aceh dan menetap dari tahun 1637-1644 di bawah lindungan sultan. Ketika berada di aceh untuk yang kedua kalinya, ia mendapatkan tempat di istana dan menghasilkan banyak tulisan. Diantara tulisan itu terdapat tulisan khusus yang mengecam dan mengafirkan penganut ajaran Samsuddin dan Hanzah Fansuri.

Syeh Nurudi An-Raniri juga sering dikenal sebagai syeh dalam tarekat Rifa’iyyah, dan kerenanya bertanggung jawab untuk menyebarkannya di wilayah melayu-Indonesia. Kendati Ar-Raniri dianggap sebagai khalifah terekat Rifa’iyyah, tetapi tarekat ini bukanlah satu-satunya tarekat yang dikaitkan dengan beliau. Ia juga memiliki silsilah inisiasi dari tarekat Aydarusiyyah dan Qodariyyah.

Menurut J. S Trimingham, sesuai pengekuan Ar-Raniri, ia menganut terekat Rifa’iyyah lewat syeh Ba Syaiban, yang bertindak sebagai syeh tarekat di India pada waktu itu. Sebelumnya, syeh tarekat ini dipegang oleh syeh MuhammadAydarus yang lahir pada tahun 1561 di Tarim, salah satu pusat islam di arab selatan. Aydarus mmerupakan murid Ahmad Al-Qusyasyi, sebagai ulama besar dan terkenal dengan tarekat Syatariyyah dan berafiliasi dengan selusin tarekat lain. Menurut Al-Hamawi, murid-murid utamanya tidak kurang dari 100 orang dari berbagai tempat di dunia muslim. Mereka merupakan mata rantai penting yag menghubungkan banyak ulama dalam jaringannya. Murid Al-Qusyasyi yang paling terkenal antara lain Ibrahim Al-Khurani (sebagai seorang  pemegang  simpul jaringan ulama abad ke 17 dan 18), Al-Sinkli, Al-Maqasyari, Abdullah bin syeh Al-Aydarus (guru Ba Syiban). Syeh Muhammad Aydarus merupakan kakek spiritual Nurudin Ar-Raniri.

Gema pemikiran Ar-Raniri sampai juga ke daerah nusantara lainnya sehingga banyak bukunya yang dipelajari orang, beliau memang seorang pengarang yang sangat produktif, kitab-ktabnya meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti aqidah, fiqih, hadis, tafsir, filsafat, perbandigan agama, dan tasauf. Jumlah karangannya sekitar 31 kitab yang meliputi seluruh disiplin ilmu tersebut.

Adapun yang termasuk dalam disiplin tasauf, antara lain:
  1. lahaif Al-Asrar (kehalusan rahasia), sebuah kitab bahasa melayu yang membahas ilmu tasauf.
  2. Nubdzah fi Da’wah Azh-Zhil ma’a Sahibih, yang berisi pertanyaan dan jawaban mengenai kesesetan ajaran Wujudiyyiah.
  3. Asrar Al-Ihsan fi Ma’rifat Ar-Ruh wa Ar-Rahman (rahasia manusia dalam mengetahi ruh dan Tuhan), sebuah kitab berbahasa melayu dan Arab yang membahas Melayu dan Arab yang membahas manusia, terutama ruh, sifat, hakikat , dan hubungan manusia dengan Tuhan.
  4. Hilal Azh-Zhill (menguraikan perkataan Zhill), sebuah kitab berbahasa melayu yang bersifat polimik tentang kebatilan ajaran Wujudiyyah
  5. Ma al –Hayat li Ahl-Mamat (air kehiduan bagi orang-orang yang mati ), sebuah kitab berbahasa melayu tentang kebatilan ajaran Wujudiyyah dalam hal kesatuan alam dan  manusia dengan Tuhan, ke-qadim-an jiwa dan perbedaaan syariat dengan hakikat.
  6. Fath Al-Mubin’ala Al-Mulhidin (kemenagan  nyata bagi kaum Aties), sebuah kitab berbahasa melayu yang ditulis di India pada tahun 1068 H / 1657 M . melihat uraian Ahmad Daui tentang buku ini, tampaknya Ar-Raniri ingin meluaskan kembali tentang aqidah yang sudah tercemar oleh kaum sufi yang menganut faham Wujudiyyah. Jadi , kendati buku ini menguraikan tentang akidah , tetapi sangat terkait dengan penolakakan Ar-Raniri terhadap pemahaman kaum sufi Wujudiyyah.
  7. Jawahir al-‘Ulum Fi Ksyf Al-Ma’alum (permata ilmu dalam menyingkap sasarannya), sebuah kitab bahasa melayu yang membahas filsafat mistik yang lengkap dan mendalam tentang kemuliaan ‘ilm al-haqiqah, wujud, sifat-sifat allah dan asmanya, al-a’yan ats-stabitah, dan al-‘ayan alkharijjiyyah.
  8. Sytifa Al-Qulub (obat hati), sebuah kitab berbahasa melayu yang berisi tentang tata cara berzikir kepada Allah.
  9. Hidayat Al-Iman ‘bi fadhl Al-Manan (bimbingan iman dengan karunia tuhan), sebuah kitab yang membahas tentang ma’rifat di samping bahasan tentang iman, islam, dan tauhid.
  10. ‘Aqa’id Ash-Syufiyyah Al-Muwahhdin (akiah para sufi yang bertauhid), sebuah kitab berbahasa arab tentang akidah dan pengalaman para sufi tentang berzdikir.” La ilaha illa allah.
  11. Rahiq al-muhammadiyah fii thariq  ash –shufiyyah (minuman umat Muhammad pada perjalanan orang-orang sufi) sebuah kitab tasawuf yang di tulis nurudin ar- raniri di India.

Pemikiran-pemikiran tasawuf Nurudin Ar-Raniri banyak di terima dan di pelajari oleh Sultan Iskandar Tsani sehingga kebijakan Surudin mengerluarkan fatwa “kufur” kepada pengikut wujudiyyah ternyata didukung oleh sultan. Sultan Tsani berulang kali menyuruh para pendukung wujudniyyah  mengubah pendapat mereka,  tetapi sia-sia. Menurut Ahmad Daudi, [8] ketika Ar-Raniri menjadi mufti, ia sempat mengerluarkan fatwa tentang kesesatan ajaran Hamzah Fanzuri dan Syamsudin sumatrani, dan membolehkan untuk membunuh pengikut ajaran tersebut, yang di sebut kaum wujudiyyah. Buku yang sangat jelas mematahkan paham wujudiyyah adalah Ma al-hayat li Ahl Al –mamat .

Kitab Ma al-hayat li Ahl Al –mamat  di luncurkan untuk mengingatkan agar tidak sempat terpengaruh ajaran wujudiyyah yang sesat, ajaran Hamzah Fanzuri, Syamsudin Sumatrani dan para pengikutnya karena ajaran tersebut dianggap kafir. Nurudin sempat mengatakan, “ barang siapa syak pada mengkafirkan yahudi dan nasrani dan Hamzah Fanzuri dan Syamsudin As –Sumatrani dan yang mengikuti keduanya, maka sesungguhnya ia kafir. “ sesat dan kafirnya penganut ajaran tersebut, menurut Nurudin, karena mereka memandang bahwa Allah itu adalah alam dan alam adalah Allah. Jika keadaannya seperti itu, tentu saja antara zat dan sifat makhluk telah terjadi Istiqlal atau hulul atau ijtihad . ketiga hal itu tidak mungkin terjadi karena ada perbedaan antara tuhan dan makhluknya[9].

Masih soal serangan Nurudin Ar-Raniri terhadap kaum sufi yang menganut paham wujudiyyah. Seperti dijelaskan oleh Ahmad Daudi bahwa kitab Al-Fath Al-Mubin ‘ Ala Al-mulhidin, terutama pada halaman empat sampai terakhir, Syekh Nurudin Ar-raniri membentangkan kembali secara rinci semua dalil dan hujah golongan wujudiyyah mengenai akidahnya, baik yang didengar langsung maupun yang ditemukan dalam kitab-kitab yang ditulis oleh para ulamanya. Inti ajaran wujudiyyah, menurut Nurudin Ar-raniri, terpusat pada wahdahtul wujud yang di tafsirkan secara salah, yaitu “kemanggulangan tuhan dengan alam “ .

Oleh karena itu , Ar-Raniri memulai uraiannya dengan menghimbau umat untuk memikirkan apa yang disebut dalam kitab mereka, seperti kitab ruba’i –nya Hamzah Fanzuri. Juga tentang apa yang disebut dalam buku khirkahnya Syamsudi Sumatrani, yang menurut Nurudin telah menyerupakan antara Allah dengan manusia. Demikian juga dengan perkataan mereka dalam diskusi dengannya, yang dalam ungkapan penganut wujudiyyah yang mereka yakini sampai mengakui diri mereka sebagai tuhan, Muhammad, setan, anjing, dan babi.

Di antara dalil yang diajukan sebagai klaim sebagai pembenaran keparcayaan wujudiyyah yang mereka yakini, misalnya dengan mengutip ayat-ayat Mutsabihat, yang menyatakan .

إِنَّا ِللهِ وَ إِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ

Artinya: Sesungguhnya kita ini dari Allah, dan sesungguhnya kepadaNya­lah kita semua akan kembali.

 Nurudin berkata bahwa ayat itu telah ditafsirkan  oleh kaum wujudiyyah secara salah, yaitu bahwa alam atau insan keluar dari Allah dan kembali dan bersatu dengannya. Yang di maksud “keluar” dan “kembali” adalah seperti keluarnya seseorang dari rumahnya dan kembali lagi masuk ke rumahnya, dan juga seperti ditamsilkan biji yang keluar dari pohon kayu atau seperti air sungai yang berasal dari laut dan akan kembali pula bersatu dengan laut .[10]

Selanjutnya  juga tentang firman ALLAH SWT. Sebagai berikut



Artinya : ” …….dan kami lebih dekatkan kepadanya (manusia) dari pada urat lehernya.

Kaum wujudiyyah memaknai ayat itu sebagai “ kami” terlebih dekat yakni bercampur dan mesra serta bersatu wujud Allah dengan insan dari pada urat lehernya.
Begitu juga ayat Al-Qur’an yang berbunyi,




Artinya :  “…….dan adalah ALLAH meliputi segala sesuatu.

Maksud ayat itu, menurut al-wujudiyah, adalah zat Allah meliputi segala sesuatu, sewujud bercampur dan mesra dengan seluruh alam. Artinya, Allah, yang meliputi, dan alam, yang diliputi, merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Inilah yang dikatakan Hamzah Fansuri dalam Ruba’inya,
“ seperti menikam muhith dengan batu
Inilah tamsil engkau dan ratu.”

Menurut mereka manikam ibarat dari cahaya yang ditamsilkan dengan wujud Allah, dan batu adalah alam ini. Jika batu dipecah berkeping-keping, akan keluar cahaya itu pada setiap kepingnya. Demikian pula halnya, Allah bersatu dengan alam dan meliputinya dalam segala bagiannya, demikian kata mereka.

Mereka juga menafsirkan ayat-ayat Mutsyabi dengan makna lahiriyah, sepeti “tangan Allah di atas tangan mereka” (Q.S [48] :10) dan “kemana saja kamu berpaling, disanalah wajah Allah” (Q.S Albaqaroh [2] :115). Berdasarkan makna lahiriah ayat tersebut, mereka mengataan bahwa Allah mempunyai tangan, wajah, mata, dan anggota tubuh lainnya, seperti manusia.

Itulah diantara alasan-alasan kaum wujudiyah. Semua alasan dan pendirian seperti yang dikemukakan oleh kaum itu ditentang keras oleh Nurudin Ar-Raniri. Ia menilai alasan-alasan itu sebagai suatu pendirian yang tidak benar. Ia melihat makna wahdatul wujud yang telah ditafsirkan secara salah dan dijadikan dasar aqidah mereka tentang hubungan Allah dengan alam atau manusia. Dalam  hal ini, ia membentangkan kembali pendirian para ahli khalam Al-Ahlisunnah dan kaum sufi tentang makna istilah tersebut.
Dalam itiqad ahlusunnah, wujud itu ada dua macam; pertama, wujud yang wajib adanya dan tidak mustahil adanya. Kedua wujud yang mungkin, baik dan maupun tidak tetap sama tingkatannya. Wujud Allah adalah wujud yang wajib, dan wujud alam adalah wujud yang mungkin tidak harus ada. Oleh karena itu, wujud allah dan wujud alam adalah berbeda secara hakiki sehinga mempersamakan dua wujud ini dalam satu tingkat adalah sesat dan khufur.
Adapun yang dimaksud dengan wahdatul wujud, dikalangan sufi, adalah wujud Allah, wujud yang berhak atau wujud semata (wujud mahdh), sedangkan alam ini adalah ketiadaan semata (adam mahdh). Oleh karena itu wujud Allah dan alam tidak  dapat bersatu dan tidak dapat berbeda, dan juga tidak dapat diperbandingkan karena hanya Allah yang ada secara hakiki, sedangkan alam tidak ada atau banyangan semata.

Wujud Allah adalah wujud yang esa, tidak ada sesuatu yang menyertainya. Hal ini sesuai dengan hadist shahih, “dan Allah telah ada sejak azali, dan tidak ada sesuatupun besertanya. “ketika hadis ini diucapkan oleh seorang murid dalam halaqah (kelas belajar) Junaid Al-Baghdadi, pemuka sufi itu segera menyambung dengan berkata, “sekarangpun seperti dahulu jua.” Maksudnya karena dahulu alam tidak ada maka ketiadaan itu tetap melekat pada alam sampai sekarang ini. Ketiadaan itu merupakan watak hakiki alam dan jikapun dikatakan ada, itu tidak lebih banyangan semata. Sebagai bayangan, alam ini sebenarnya tidak ada sehingga yang ada hanya Allah. Dengan demikian mustahil menjadikan “yang tiada” sebagai “yang ada” dan menjadi “yang ada “sebagai” yang tiada..’ oleh karena itu , mengatakan Allah adalah alam dan alam adalah Allah “ adalah suatu itikah yang sesat dan kufur, “ kata Nurudin. [11]

Menurut Nurudin, dalam masalah ini pendirian atau itikad ahlusunnah dan kaum sufi tidak berbeda. Jika ada perbedaan, itu hanya pada lafal dan makna, tidak pada maksudnya. Sedangkan, makna “wujud mungkin” pada pemikiran ahlussunnah berlaku pada alam ini yang pada hakikatnya tidak ada, seperti yang dikatakan sufi.

Syekh Nurudin menyanggah penafsiran ayat yang berbunyi “ inna lillahi wa inna lillah hiroji’un”. Yang dilakukan oleh kaum wujudiyyah bahwa manusia keluar dari Allah dan akan bersatu kembali dengannya. Jika demikian Allah itu berjasmani seperti benda di bumi ini .menurut Nurudin,penafsiran yang benar seperti yang dikatakan oleh para ahli tafsir, “kami milik Allah dan kembali segala pekerjaan kami kepadanya”. Segala perbuatan manusia kembali kepada hukum Allah ; jika baik ia masuk syurga dan jika jahat ia masuk neraka.

Tidak berbeda dengan hal itu adalah penafsiran kaum sufi yang lebih halus dan mendalam. Mereka berpendapat bahwa manusia dilahirkan Allah dari hakikat terpendam dalam ilmunya sehingga mereka mazhar (fenomena) alam dan batin-nya. Pada manusia terkumpul dua sifat Allah yaitu jammal dan jalal. Segala sifat Allah yang bersifat rahmat adalah pancaran sifat jamal, dan segala sifatnya yang merupakan keperkasaan (qahr) adalah pancaran sifat jalal. Oleh karena itu. Para nabi, wali mukmin,dan lain-lainadalah fenomena sifat jamal. Sebaliknya, segala setan, orang kafir musyrik, penjahat, dan lain-lain adalah fenomena sifat jalal. Dengan demikian segala fenomena sifat rahmat akan kembali ke surga dan segala fenomena sifat qahr atau jalal akan kembali ke neraka. Orang mukmin yang meninggal dunia dikatakan telah berpulang ke rahmatullah, yakni menjadi isi syurga. Demikian penafriran kaum sufi tentang isi Al-qur’an surat Al-baqarah ayat 156, yang dikutip oleh Nurudin.

Syeh menolak penafsiran Q.S. [50]: 16 yang dilakukan oleh kaum wujudiyah dengan mengutip kembali perkataan para ahli tafsir dan sufi. Mereka menafsirkan ayat ini menurut lahir lafalnya ditambah dengan bebarapa alasan dan pengertian yang sesuia dengan pengertian itu. Maksud ayat tersebut adalah bahwa Allah lebih dekat pada manusia dari pada diri-Nya karena Dia adalah penciptanya sehingga lebih mengetahui semua yang bergerak dalam hatinya. Allah lebih dekat pada manusia tidak dalam kaitan tempat dan zaman, wujud hulul dan ittihad, dan sebagainya. Selanjutnya Nurudin menjelaskan  bahwa qurb (dekat) ada tiga macam yaitu:
  1. Qurb Zamani (dekat dalam arti zaman), seperti zaman nabi Muhammad lebih dekat dari pada zaman nabi Adam.
  2. Qurb Makani (lebih dekat dalam arti tempat), seperti Mekah dan Jedah.
  3. Qurb Ma’nawi (lebih dekat dalam arti maknawi), seperti dekatnya ruh dengan jasad.

Dekat dalam arti zaman dan tempat tidak layak dalam menjelaskan hubungan Allah dan insan, tetapi dipakai untuk hubungan antar makhluk-Nya. Hanya “dekat maknawi” yang sesuai dan layak untuk hubungan Allah dan insan seperti halnya ruh dan jasad. Adapun hakikat “dekat maknawi” tidak ada manusia yang mengetahui, selain orang-orang tertentu yang telah memperoleh limpahan rahmat ma’rifat dari Allah, seperti para Nabi dan Wali.

Syeh Nurudin juga menolak arti muhith (meliputi) yang diberikan oleh kaum wujudiyah dalam menafsirkan Q.S [4] ayat 126 seperti telah diungkapkan di atas dan dipandangnya sebagai tafsiran yang sesat dan salah. Seperti biasanya, ia kembali mengutip perkataan para ahli tafsir dan sufi tentang maksud ayat tersebut. Menurut mereka, yang dimaksud muhith adalah bahwa ilmu dan qudrah Allah menjangkau segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, dan tidak sesuatupun yang luput dari ilmunya karena segala sesuatu terjadi karena berkat limpahan nur wujud-Nya. Tampa tajjali (penampakan sifat-sifat)-Nya maka alam ini tidak ada. Muhith disini tidak dalam arti kendi meliputi air, tetapi meliputi ruh dengan badan, atau matahari dengan segala yang diteranginya.

Mengenai ayat muttasyabihah yang digunakan sebagai dalil kebenaran kaum akida wujudiyah, Nurudin menjelaskan pendirian para ulama, baik terdahulu (salaf) maupun yang kemudian (khalaf) dalam menafsirkan ayat itu. Para ulama uhlussunnah waljama’ah dan para sufi mengatakan bahwa setiap mukmin wajib beriman pada ayat-ayat mutasabihah, seperti “tangan Allah” dan “wajah Allah”, tetapi ia harus menyerahkan makna hakiki ayat-yat tersebut pada allah. Ia tidak boleh beritikat menurut makna lahirnya ayat tersebut. Artinya, ia harus menyucikan (tanzih) Allah dari sesuatu persamaan dengan makhluk-Nya dalam sifat-sifat tersebut. Jadi Allah mempunyai tangan minsalnya, maka tangannnya tidak sama dengan tangan makhluknya karena “tidak ada yang serupa dengannya” (QS. [26]: 11). Pendapat ini dianut oleh para ulama salaf. Adapun para ulama khalaf lebih cendrung mankwilkan ayat-ayat muttasabihad dengan maksud memelihara aqidah orang umum dari kesalahan mempersamakan Allha dengan manusia. Oleh karena itu, jika dalam Al-qur’an disebutkan Allah memiliki tangan, yang dimaksud adalah kekuasaan atau nikmat atau sifat untuk memerintah.[12]
Nurudin Ar-Raniri juga menolak ungkapan-ungkapan syathatat. Nurudin menjelaskan bahwa ungkapan syathatat keluar dari mulut para wali karena mereka tidak henti-hentinya berzikir pada allah. Tidak sedikitpun dahi dan lidah mereka berhenti menyebut nama-Nya sebagai tanda cinta kepada-Nya. Dalam keadaan demikian khusyu, mereka mengalami fana fi Allah sehingga hilanglah kesadaran terhadap wujud dirinya. Mereka mengucapkan ungkapan itu tampa sadar dan ikhtiar. Jika telah sembuh  dan sadar kembali seprti biasa, mereka mengingkari ucapan-ucapan yang keluar dari mulut mereka dan segera membaca istiqfar lalu bertobat. Jika ucapan syathatat keluar dari mulut mereka yang tidak sedang mabuk atau fana’, mereka disebut kufur dan wajib segera bertobat. Bila tidak mau bertobat, mereka wajib dibunuh dan tidak boleh di makamkan di pekuburan umat islam. Para ulama bahwa mempatwakan boleh membunuh Al-Hallaj karena telah mengeluarkan kata-kata sythatat dalam keadaan sadarkan diri.

Dari keterangan itu terlihat bahwa Nurudin tidak menerima ucapan-ucapan syathatat yang dilontarkan oleh para sufi dalam keadaan sadar karena para walipun segera memohon ampun ke pada Allah setelah sadar dari kefanaan setelah mengucapkan ungkapan syathatat.

Pemikiran-pemikiran Ar-Raniri tersebut ternyata berpengaruh besar ke seluruh nusantara sehingga peranan Ar-Raniri dalam perkembangan islam di wilayah melayu-Indonesia tidak dapat diabaikan. Dia memainkan peranan penting dalam membawa tradisi islam suni ke wilayah ini dengan mengurangi kecendrungan kuat intruksi local kedalam islam. Tampa mengabaikan peranan ulama-ulama lain yang sebelumnya, Ar-Raniri merupakan suatu mata rantai yang kuat, yang menghubungkan tradisi islam di timur tengah dengan tradisi islam di nusantara. Jelas ia merupakan salah satu penyebab terpenting dalam pembaharuan islam di nusantara. Pemikiran Ar-Raniri ini juga banyak diikuti oleh murid-murinya. Muridnya yang paling menonjol di nusantara adalah  Al-Maqassari yang secara tegas menyatakan bahwa Ar-Raniri adalah syeh dan gurunya.

B.     Ajaran Tasauf Nurudin Al-Raniri
Pemikiran tasau Nurudin Al-Raniri mempunyai pengaruh besar dalam pemikiran tasau di Nusantara-Indonesia. Dengan mengenalkan dan menyebarkan penafsiran islam yang dipegang aliran utama kaum ulama dan sufi di pusat-pusat keilmuan islam, dia memberikan daya dorong yang kuat untuk lahir dan berkembangnya pembaruan di kalangan muslim Melayu-Indonesia. Konsekuensi lebih lanjut dari penjelasan Nurudin Al-Raniri mengenai jenis-jenis dan pemikiran tasauf adalah mendorong intensifikasi islamisasi di wilayah melayu-indonesia.
Kehadiran Nurudin harus diakui telah berhasil mematahkan pemikiran kaum wujuudiyah-nya Samsudin Sumatrani. Pemikirannya yang terkesan konfrontatif dengan hamzah Fanzuri dan Samsudin mengingatkan kita pada tokoh Al-Gazali yang sangat concern mengkritik kaum filosof dalam kitabnya, Tahafut Al-Falasifah. Serangan yang dilakukan pada kaum filosof bukan berarti Al-Gazali tidak memahami pemikioran mereka. Buktinya, buku Maqashid Al-Falasifah yang disusunnya sebelum Tahafut Al-Falasifah menunjukkan kepiawaiannya dalam menguasai dan menjelaskan pemikirannya mengenai filsafah. Seperti halnya Al-Gazali, Nurudin menyerang penganut aliran wujudiyah setelah ia memahami paham aliran itu.
Pemikiran Nurudin, baik yang ditunjukkan pada tokoh dan penganut wujudiyah maupun pemikirannya secara umum,dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bidang pembahasan. Meskipun pemikiran tasauf Nurudin berkesan sangat luas, tetapi pemikirannya dapat dikasifikasikan sebagai berikut.
Pertama, tentang Tuhan. Pendirian Nurudin dalam masalah ketuhanan pada umumnya bersifat kompromis. Ia berusaha menyatukan faham muttakalimin dengan paham para sufi yang diwakili Ibn’ Arabi.[13] Ia berpendapat bahwa ungkapan “wujud Allah dan alam Esa” berarti bahwa alam ini merupakan sisi lahiriah dari hakikatnya yang bathin, yaitu Allah, seperti yang dimaksud oleh Ibn’Arabi. Namun, uangkapan itu pada hakikatnya adalah bahwa ala mini tidak ada.yang ada hanyalah wujud Allah yang esaa. Jadi, tidak dapat dikatakan alam ini berbeda dan bersatu dengan Allah. Pandangan Nurudin ini hampir sama dengan pandangan Ibn’Arabi., yakni alam ini merupakan tajjali Allah. Namun, penafsirannya di atas membuat ia terlepas dari “label” pantaheisme Ibn’Arabi.
Kedua, tentang alam. Nurudin berpendapat bahwa ala mini diciptakan oelh Allah melalui tajjali. Ia menolak teori Al-Faidh (emanasi) Al-Farabi karena akan membawa pengakuan bahwa ala mini qadim sehingga jatuh dalam kemusyrikan. Alam dan falak, menurutnya, merupakan wajah tajali asma dan sifat Allah dalam bentuk konkret. Sifat ilmu bertajjali pada alam akal, nama Rahman bertajali pada Arsy, nama rahim bertajali pada Khursy, nama rasyik bertajali pada falak ketujuh.
Ketiga, tentang manusia. Nurudin berpendapat bahwa manusia merupakan makhluk Allah yang paling sempurna di dunia. Manusia merupakan khalifah Allah di bumi dijadikan sesuai dengan cintranya. Manusia merupakan mazhar (tempat kenyataan asma dan sifat allah yang paling lengkap dan menyeluruh). Konsep insan khamil pada dasarnya hamper sama dengan yang digariskan oleh Ibn’Arabi.
Keempat, tentang wujuduyyah. Nurudin berpendapt bahwa inti ajaran wujudiyyah berpusat pada wahdat all-wujud, yang disalah artikan kaum wujudiyyah menjadi kemanunggalan Allah dengan alam. Pendapat Hamzal Al-Fansuri tentang wahdad al-wujud deapat membawa pada kekapiran. Menurut Nurudin, jika benar Tuhan dan makhluk hakikatnya bersatu, dapat dikatakan bahwa manusia adalah tuhan dan tuhan adalah manusia sehingga akhirnya makhluk adalah tuhan. Semua yang dilakukan manusia, abaik atau buruk, Allah turut serta melakukannya, juka demikian, manusia juga memiliki sifat-sifat Tuhan.
Kelima, tentang hubungan syariat dan hakikat. Nurudin berpendapat bahwa pemisahan antara syariat dan hakikat merupakan sesuatu yang tidak benar, ia lebih menekankan syariat sebagai landasan esensial dalam tasauf (hakikat).





[1] F.B. Burhan (Ed), Nalar Isloami dan Nalar Modern: Berbagi tantangan dan Jalan Baru, Jakarta: INIS, 1994, hlm. 4.
[2] Akbar. S. Ahmed, Postmodernism and Islam, New York: Rautledge, 1992, hlm. 29
[3] Ilhamudin, “Kebebasan Islam dalam Perspektif Barat dan Islam, Dalam Jurnal Miqad, IAIN Sumatra Utara-Medan, No, 84, 1984, Hlm. 28.
[4] Ruslan (Ed), Wacana Spiritualitas Timur dan Barat, Yogyakarta: Qalam, 2000, hlm. Viii-xi
[5] Ahmad Mubarok, Jiwa dalam  Al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2000, hlm. 6.
[6]Hana Jumhana Bustaman, “Demensi Pritualitas dala, Teori Psikologi”, dalam Ulumul Quran, No. 4, Vol, 4. hlm. 16.
[7] Ahmad Daudi, “ Tinjauan Atas Al-Fath Al-Mubin Ala Al-Muhidin Krya Syeh Nuridin Ar-Raniri’, dalam Ahmad Rifai Hasan, Warisan Intelektual Islam Idonesia, Bandung,  Mizan, 1990, hlm. 21.
[8] Ahmad Daudi, Op. Cit, hlm. 23.
[9] Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasau Dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buthon pada abat ke-19, INIS, Jakarta, 1995, hlm. 58-59.
[10] Ahmad Daudi, Op. Cit, hlm. 29-30.
[11] Ahmad Daudi, Op. Cit, hlm. 31

[12] Ahmad Daudi, Op. Cit, hlm. 33.

[13] Ahmad Daudi, Op. Cit, hlm. 82.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar