PENDAHULUAN
Peradaban modern yang dimulai di barat sejak abad XVII
merupakan awal kemenangan supremasi rasionalisme dan imperisme dari dogmatisme
agama.[1]kenyataan
ini dapat dipahami karena abad modern barat cendrung memisahkan ilmu
pengetahuan dan filsafat dari agama yang kemudian di kenal dengan jargon
sekularisme. Perpaduan antara rasionalisme dan imperisme dalam satu paket
epistemology melahirkan yang oleh T. H. Hexley disebut, scientific method
(metode ilmiah).
Penemuan metode ilmiah yang berwatak impiris dan
rasional secara menakjuban membawa sain yang luarbiasa canggihnya sehingga
melahirkan kemudahan, disamping melahirkan kehidupan dan paradigma pemikiran
baru.[2]
Penomna serba mudah dan baru ini merupkan wujud akselerasi dar pemikiran
filsafat barat modern.
Filsafat barat modern memandang manusia bebas dari segala kekuatan di luarnya, dan
kebebasan itu terjadi lewat pengetahuan rasional. Manusia seolah digiring untuk
memikirkan dunia an-sicch sehingga
tuhan, surga, neraka, dan persoalan-persoalan eskatologis tidak lagi menjadi
pusat pemikiran. Mereka menjadi bebas dari segala macam magis, relegi,
kepercayaan, dan semua yang mereka anggap irasional.[3]
Manusia diangkat mertabatnya menjadi makhluk bebas dan otonom sebagai mana
tergambar dalam pemikiran Descartes, Imanuel kant, Sartre, dan Frederich
Nietzche,
Atas dasar itu, abad modern menyiratkan zaman ketika
manusia menemukan dirinya sebagai kekuatan yang dapat menyelesaikan berbagai
persoalan hidupnya. Mereka cenderung melepaskan diri dari keterikatan dengan
tuhan (theomorphisme), untuk selanjutnya membangun tatanan yang berpusat pada
manusia (anthropomorphism). Manusia dipandang sebagai makhluk bebas dan
independent dari tuhan dan alam karena manusia menjadi tuan atas nasibnya
sendiri dari sini terjadilah apa yag disebut dengan kultus persona. Sebagai
kelanjutan dari kultus persona ini adalah berkembangnya gagasan tentang
kebebasan dan utopia, yang berdiri sendiri tampa dasar kosmis atau tampa
hubungan dengan the hingher cionsciousnees. Akibat kultus persona ini ialah
makin mendominasinya tenik dalam kehidupan, dalam ideology kapitalisme, yang
berepek membebaskan dan menciptakan _meminjam istilah Anthony Zeiberfield-
abstrack society,[4]
atau dalam bahasa rollo may disebut sebagai manusia dalam kerangkeng, satu
istilah yang menggambarkan salah satu derita manusia yang sedang dihipnotis
atmosfer modernitas. Pola hidup manusia menjadi serba dilayani oleh perangkat
teknologi yang serba otomat dan canggih, yang pada gilirannya akan membuat
manusia lengah dan tidak menyadari bahwa demensi spiritualnya terdistorsi. Kita
sedang menyaksikan tercabutnya akar spiritualitas dari panggung kehidupan
gobal.
Ditengah kancah kehidupan global tersebut terdapat
penomena pada kelompok social tertentu yang terperangkap keterasingan yang
dalam bahasa sosilog disebut alienasi. Manusia modern seperti itu sebenarnya
manusia yang sudah kehilangan makna, manusia kosong the hollow man. para
sosiolog memandang bahwa gejala alienasi ini disebabkan oleh:
- perubahan social yang berlangsung sangat cepat.
- Hubungan hangat antar manusia telah berubah menjadi hubungan yang gersang.
- Lembaga tradisional telah berubah menjadi lembaga rasional.
- Masyarakat yang homogen telah berubah menjadi hiterogen.
- Stabilitas social telah berubah menjadi mobilitas social.[5]
Berbeda dengan para sosiolog, Husein Nasr menilai bahwa
alienasi di sebabkan karena peradaban modern yang bermula dari barat dibangun
dari penolakan (negation) terhadap hakikat ruhaniah secara gradual dalam kehidupan manusia. Akibatnya
manusia lupa esistensinya sebagai ‘abid (hamba) dihadapan tuhan karena telah
terputus akar-akar spiritualitas. Hal ini merupakan penomena betapa manusia
modern memiliki spiritualitas yang sangat akut. Pada gilirannya, mereka
cenderung tidak mampu menjawab berbagai persoalan kehidupanya, dan kemudian
terperangkap dalam kehampaan dan ketidak bermaknaan hidup[6].
A. Biografi Nuruddin
Ar-Raniri dan Pemikiran Tasaufnya.
Nama lengkapnya adalah Nur Ad-Din Muhammad ibn’Ali ibn
Hasanji ibn Muhammad Ar-Raniri. Silsilah keturunan Al-Raniri berasal dari India,
keturunan Aceh. Di panggil Al-Raniri karena dilahirkan didaerah Ranir (Rander)
yang terletak di Gujarat India
pada tahun yang tidak diketahui. Ia meninggal pada 22 zulhijjah 1096H/ 21
September 1658 M di India. Pendidikannya dimulai dengan belajar di tempat
kelahirannya, kemudian dilanjutkan ke Tarrim (Arab Selatan). Dari kota ini kemudian ia pergi
ke Mekah pada tahun 1030 H/1582 M untuk melaksanakan ibadah haji dan ziarah ke
Madinah.[7]
Menurut R. Hoesain Djajadiningrat, Nurudin untuk pertama
kalinya berada di Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda. Kemudian ia meninggalkan
aceh kerena tidak mendapatkan perhatian dari Sultan yang berkuasa ketika itu.
Pada zaman Iskandar Sani ia kembali lagi ke Aceh dan menetap dari tahun
1637-1644 di bawah lindungan sultan. Ketika berada di aceh untuk yang kedua
kalinya, ia mendapatkan tempat di istana dan menghasilkan banyak tulisan.
Diantara tulisan itu terdapat tulisan khusus yang mengecam dan mengafirkan
penganut ajaran Samsuddin dan Hanzah Fansuri.
Syeh Nurudi An-Raniri juga sering dikenal sebagai syeh
dalam tarekat Rifa’iyyah, dan kerenanya bertanggung jawab untuk menyebarkannya
di wilayah melayu-Indonesia. Kendati Ar-Raniri dianggap sebagai khalifah
terekat Rifa’iyyah, tetapi tarekat ini bukanlah satu-satunya tarekat yang
dikaitkan dengan beliau. Ia juga memiliki silsilah inisiasi dari tarekat
Aydarusiyyah dan Qodariyyah.
Menurut J. S Trimingham, sesuai pengekuan Ar-Raniri, ia
menganut terekat Rifa’iyyah lewat syeh Ba Syaiban, yang bertindak sebagai syeh
tarekat di India pada waktu itu. Sebelumnya, syeh tarekat ini dipegang oleh
syeh MuhammadAydarus yang lahir pada tahun 1561 di Tarim, salah satu pusat
islam di arab selatan. Aydarus mmerupakan murid Ahmad Al-Qusyasyi, sebagai
ulama besar dan terkenal dengan tarekat Syatariyyah dan berafiliasi dengan
selusin tarekat lain. Menurut Al-Hamawi, murid-murid utamanya tidak kurang dari
100 orang dari berbagai tempat di dunia muslim. Mereka merupakan mata rantai
penting yag menghubungkan banyak ulama dalam jaringannya. Murid Al-Qusyasyi
yang paling terkenal antara lain Ibrahim Al-Khurani (sebagai seorang pemegang
simpul jaringan ulama abad ke 17 dan 18), Al-Sinkli, Al-Maqasyari,
Abdullah bin syeh Al-Aydarus (guru Ba Syiban). Syeh Muhammad Aydarus merupakan
kakek spiritual Nurudin Ar-Raniri.
Gema pemikiran Ar-Raniri sampai juga ke daerah nusantara
lainnya sehingga banyak bukunya yang dipelajari orang, beliau memang seorang
pengarang yang sangat produktif, kitab-ktabnya meliputi berbagai disiplin ilmu,
seperti aqidah, fiqih, hadis, tafsir, filsafat, perbandigan agama, dan tasauf.
Jumlah karangannya sekitar 31 kitab yang meliputi seluruh disiplin ilmu tersebut.
Adapun yang termasuk dalam disiplin tasauf, antara lain:
- lahaif Al-Asrar (kehalusan rahasia), sebuah kitab bahasa melayu yang membahas ilmu tasauf.
- Nubdzah fi Da’wah Azh-Zhil ma’a Sahibih, yang berisi pertanyaan dan jawaban mengenai kesesetan ajaran Wujudiyyiah.
- Asrar Al-Ihsan fi Ma’rifat Ar-Ruh wa Ar-Rahman (rahasia manusia dalam mengetahi ruh dan Tuhan), sebuah kitab berbahasa melayu dan Arab yang membahas Melayu dan Arab yang membahas manusia, terutama ruh, sifat, hakikat , dan hubungan manusia dengan Tuhan.
- Hilal Azh-Zhill (menguraikan perkataan Zhill), sebuah kitab berbahasa melayu yang bersifat polimik tentang kebatilan ajaran Wujudiyyah
- Ma al –Hayat li Ahl-Mamat (air kehiduan bagi orang-orang yang mati ), sebuah kitab berbahasa melayu tentang kebatilan ajaran Wujudiyyah dalam hal kesatuan alam dan manusia dengan Tuhan, ke-qadim-an jiwa dan perbedaaan syariat dengan hakikat.
- Fath Al-Mubin’ala Al-Mulhidin (kemenagan nyata bagi kaum Aties), sebuah kitab berbahasa melayu yang ditulis di India pada tahun 1068 H / 1657 M . melihat uraian Ahmad Daui tentang buku ini, tampaknya Ar-Raniri ingin meluaskan kembali tentang aqidah yang sudah tercemar oleh kaum sufi yang menganut faham Wujudiyyah. Jadi , kendati buku ini menguraikan tentang akidah , tetapi sangat terkait dengan penolakakan Ar-Raniri terhadap pemahaman kaum sufi Wujudiyyah.
- Jawahir al-‘Ulum Fi Ksyf Al-Ma’alum (permata ilmu dalam menyingkap sasarannya), sebuah kitab bahasa melayu yang membahas filsafat mistik yang lengkap dan mendalam tentang kemuliaan ‘ilm al-haqiqah, wujud, sifat-sifat allah dan asmanya, al-a’yan ats-stabitah, dan al-‘ayan alkharijjiyyah.
- Sytifa Al-Qulub (obat hati), sebuah kitab berbahasa melayu yang berisi tentang tata cara berzikir kepada Allah.
- Hidayat Al-Iman ‘bi fadhl Al-Manan (bimbingan iman dengan karunia tuhan), sebuah kitab yang membahas tentang ma’rifat di samping bahasan tentang iman, islam, dan tauhid.
- ‘Aqa’id Ash-Syufiyyah Al-Muwahhdin (akiah para sufi yang bertauhid), sebuah kitab berbahasa arab tentang akidah dan pengalaman para sufi tentang berzdikir.” La ilaha illa allah.
- Rahiq al-muhammadiyah fii thariq ash –shufiyyah (minuman umat Muhammad pada perjalanan orang-orang sufi) sebuah kitab tasawuf yang di tulis nurudin ar- raniri di India.
Pemikiran-pemikiran tasawuf Nurudin Ar-Raniri banyak di
terima dan di pelajari oleh Sultan Iskandar Tsani sehingga kebijakan Surudin
mengerluarkan fatwa “kufur” kepada pengikut wujudiyyah ternyata didukung oleh
sultan. Sultan Tsani berulang kali menyuruh para pendukung wujudniyyah mengubah pendapat mereka, tetapi sia-sia. Menurut Ahmad Daudi, [8]
ketika Ar-Raniri menjadi mufti, ia sempat mengerluarkan fatwa tentang kesesatan
ajaran Hamzah Fanzuri dan Syamsudin sumatrani, dan membolehkan untuk membunuh
pengikut ajaran tersebut, yang di sebut kaum wujudiyyah. Buku yang sangat jelas
mematahkan paham wujudiyyah adalah Ma al-hayat li Ahl Al –mamat .
Kitab Ma al-hayat li Ahl Al –mamat di luncurkan untuk mengingatkan agar tidak
sempat terpengaruh ajaran wujudiyyah yang sesat, ajaran Hamzah Fanzuri,
Syamsudin Sumatrani dan para pengikutnya karena ajaran tersebut dianggap kafir.
Nurudin sempat mengatakan, “ barang siapa syak pada mengkafirkan yahudi dan
nasrani dan Hamzah Fanzuri dan Syamsudin As –Sumatrani dan yang mengikuti
keduanya, maka sesungguhnya ia kafir. “ sesat dan kafirnya penganut ajaran
tersebut, menurut Nurudin, karena mereka memandang bahwa Allah itu adalah alam
dan alam adalah Allah. Jika keadaannya seperti itu, tentu saja antara zat dan
sifat makhluk telah terjadi Istiqlal atau hulul atau ijtihad . ketiga hal itu
tidak mungkin terjadi karena ada perbedaan antara tuhan dan makhluknya[9].
Masih soal serangan Nurudin Ar-Raniri terhadap kaum sufi
yang menganut paham wujudiyyah. Seperti dijelaskan oleh Ahmad Daudi bahwa kitab
Al-Fath Al-Mubin ‘ Ala Al-mulhidin, terutama pada halaman empat sampai
terakhir, Syekh Nurudin Ar-raniri membentangkan kembali secara rinci semua
dalil dan hujah golongan wujudiyyah mengenai akidahnya, baik yang didengar
langsung maupun yang ditemukan dalam kitab-kitab yang ditulis oleh para
ulamanya. Inti ajaran wujudiyyah, menurut Nurudin Ar-raniri, terpusat pada
wahdahtul wujud yang di tafsirkan secara salah, yaitu “kemanggulangan tuhan
dengan alam “ .
Oleh karena itu , Ar-Raniri memulai uraiannya dengan
menghimbau umat untuk memikirkan apa yang disebut dalam kitab mereka, seperti
kitab ruba’i –nya Hamzah Fanzuri. Juga tentang apa yang disebut dalam buku
khirkahnya Syamsudi Sumatrani, yang menurut Nurudin telah menyerupakan antara Allah
dengan manusia. Demikian juga dengan perkataan mereka dalam diskusi dengannya,
yang dalam ungkapan penganut wujudiyyah yang mereka yakini sampai mengakui diri
mereka sebagai tuhan, Muhammad, setan, anjing, dan babi.
Di antara dalil yang diajukan sebagai klaim sebagai
pembenaran keparcayaan wujudiyyah yang mereka yakini, misalnya dengan mengutip
ayat-ayat Mutsabihat, yang menyatakan .
إِنَّا ِللهِ وَ إِنَّا
إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ
Artinya: Sesungguhnya kita ini dari Allah, dan sesungguhnya kepadaNyalah kita
semua akan kembali.
Nurudin berkata bahwa ayat itu telah
ditafsirkan oleh kaum wujudiyyah secara
salah, yaitu bahwa alam atau insan keluar dari Allah dan kembali dan bersatu
dengannya. Yang di maksud “keluar” dan “kembali” adalah seperti keluarnya
seseorang dari rumahnya dan kembali lagi masuk ke rumahnya, dan juga seperti
ditamsilkan biji yang keluar dari pohon kayu atau seperti air sungai yang
berasal dari laut dan akan kembali pula bersatu dengan laut .[10]
Selanjutnya juga tentang firman ALLAH SWT. Sebagai
berikut
Artinya : ” …….dan kami lebih dekatkan kepadanya
(manusia) dari pada urat lehernya.
Kaum wujudiyyah memaknai ayat itu sebagai “ kami”
terlebih dekat yakni bercampur dan mesra serta bersatu wujud Allah dengan insan
dari pada urat lehernya.
Begitu juga ayat Al-Qur’an yang berbunyi,
Artinya : “…….dan adalah ALLAH meliputi segala sesuatu.
Maksud ayat itu, menurut al-wujudiyah, adalah zat Allah
meliputi segala sesuatu, sewujud bercampur dan mesra dengan seluruh alam.
Artinya, Allah, yang meliputi, dan alam, yang diliputi, merupakan suatu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Inilah yang dikatakan Hamzah Fansuri
dalam Ruba’inya,
“ seperti menikam muhith dengan batu
Inilah tamsil engkau dan ratu.”
Menurut mereka manikam ibarat dari cahaya yang
ditamsilkan dengan wujud Allah, dan batu adalah alam ini. Jika batu dipecah
berkeping-keping, akan keluar cahaya itu pada setiap kepingnya. Demikian pula
halnya, Allah bersatu dengan alam dan meliputinya dalam segala bagiannya,
demikian kata mereka.
Mereka juga menafsirkan ayat-ayat Mutsyabi dengan makna
lahiriyah, sepeti “tangan Allah di atas tangan mereka” (Q.S [48] :10) dan
“kemana saja kamu berpaling, disanalah wajah Allah” (Q.S Albaqaroh [2] :115).
Berdasarkan makna lahiriah ayat tersebut, mereka mengataan bahwa Allah
mempunyai tangan, wajah, mata, dan anggota tubuh lainnya, seperti manusia.
Itulah diantara alasan-alasan kaum wujudiyah. Semua
alasan dan pendirian seperti yang dikemukakan oleh kaum itu ditentang keras
oleh Nurudin Ar-Raniri. Ia menilai alasan-alasan itu sebagai suatu pendirian
yang tidak benar. Ia melihat makna wahdatul wujud yang telah ditafsirkan secara
salah dan dijadikan dasar aqidah mereka tentang hubungan Allah dengan alam atau
manusia. Dalam hal ini, ia membentangkan
kembali pendirian para ahli khalam Al-Ahlisunnah dan kaum sufi tentang makna
istilah tersebut.
Dalam itiqad ahlusunnah, wujud itu ada dua macam;
pertama, wujud yang wajib adanya dan tidak mustahil adanya. Kedua wujud yang
mungkin, baik dan maupun tidak tetap sama tingkatannya. Wujud Allah adalah
wujud yang wajib, dan wujud alam adalah wujud yang mungkin tidak harus ada.
Oleh karena itu, wujud allah dan wujud alam adalah berbeda secara hakiki
sehinga mempersamakan dua wujud ini dalam satu tingkat adalah sesat dan khufur.
Adapun yang dimaksud dengan wahdatul wujud, dikalangan
sufi, adalah wujud Allah, wujud yang berhak atau wujud semata (wujud mahdh),
sedangkan alam ini adalah ketiadaan semata (adam mahdh). Oleh karena itu wujud
Allah dan alam tidak dapat bersatu dan
tidak dapat berbeda, dan juga tidak dapat diperbandingkan karena hanya Allah
yang ada secara hakiki, sedangkan alam tidak ada atau banyangan semata.
Wujud Allah adalah wujud yang esa, tidak ada sesuatu
yang menyertainya. Hal ini sesuai dengan hadist shahih, “dan Allah telah ada
sejak azali, dan tidak ada sesuatupun besertanya. “ketika hadis ini diucapkan
oleh seorang murid dalam halaqah (kelas belajar) Junaid Al-Baghdadi, pemuka
sufi itu segera menyambung dengan berkata, “sekarangpun seperti dahulu jua.”
Maksudnya karena dahulu alam tidak ada maka ketiadaan itu tetap melekat pada
alam sampai sekarang ini. Ketiadaan itu merupakan watak hakiki alam dan jikapun
dikatakan ada, itu tidak lebih banyangan semata. Sebagai bayangan, alam ini
sebenarnya tidak ada sehingga yang ada hanya Allah. Dengan demikian mustahil
menjadikan “yang tiada” sebagai “yang ada” dan menjadi “yang ada “sebagai” yang
tiada..’ oleh karena itu , mengatakan Allah adalah alam dan alam adalah Allah “
adalah suatu itikah yang sesat dan kufur, “ kata Nurudin. [11]
Menurut Nurudin, dalam masalah ini pendirian atau itikad
ahlusunnah dan kaum sufi tidak berbeda. Jika ada perbedaan, itu hanya pada
lafal dan makna, tidak pada maksudnya. Sedangkan, makna “wujud mungkin” pada
pemikiran ahlussunnah berlaku pada alam ini yang pada hakikatnya tidak ada,
seperti yang dikatakan sufi.
Syekh Nurudin menyanggah penafsiran ayat yang berbunyi “
inna lillahi wa inna lillah hiroji’un”. Yang dilakukan oleh kaum wujudiyyah
bahwa manusia keluar dari Allah dan akan bersatu kembali dengannya. Jika
demikian Allah itu berjasmani seperti benda di bumi ini .menurut Nurudin,penafsiran
yang benar seperti yang dikatakan oleh para ahli tafsir, “kami milik Allah dan
kembali segala pekerjaan kami kepadanya”. Segala perbuatan manusia kembali
kepada hukum Allah ; jika baik ia masuk syurga dan jika jahat ia masuk neraka.
Tidak berbeda dengan hal itu adalah penafsiran kaum sufi
yang lebih halus dan mendalam. Mereka berpendapat bahwa manusia dilahirkan
Allah dari hakikat terpendam dalam ilmunya sehingga mereka mazhar (fenomena)
alam dan batin-nya. Pada manusia terkumpul dua sifat Allah yaitu jammal dan
jalal. Segala sifat Allah yang bersifat rahmat adalah pancaran sifat jamal, dan
segala sifatnya yang merupakan keperkasaan (qahr) adalah pancaran sifat jalal.
Oleh karena itu. Para nabi, wali mukmin,dan lain-lainadalah fenomena sifat jamal.
Sebaliknya, segala setan, orang kafir musyrik, penjahat, dan lain-lain adalah
fenomena sifat jalal. Dengan demikian segala fenomena sifat rahmat akan kembali
ke surga dan segala fenomena sifat qahr atau jalal akan kembali ke neraka.
Orang mukmin yang meninggal dunia dikatakan telah berpulang ke rahmatullah,
yakni menjadi isi syurga. Demikian penafriran kaum sufi tentang isi Al-qur’an
surat Al-baqarah ayat 156, yang dikutip oleh Nurudin.
Syeh menolak penafsiran Q.S. [50]: 16 yang dilakukan
oleh kaum wujudiyah dengan mengutip kembali perkataan para ahli tafsir dan
sufi. Mereka menafsirkan ayat ini menurut lahir lafalnya ditambah dengan
bebarapa alasan dan pengertian yang sesuia dengan pengertian itu. Maksud ayat
tersebut adalah bahwa Allah lebih dekat pada manusia dari pada diri-Nya karena
Dia adalah penciptanya sehingga lebih mengetahui semua yang bergerak dalam
hatinya. Allah lebih dekat pada manusia tidak dalam kaitan tempat dan zaman,
wujud hulul dan ittihad, dan sebagainya. Selanjutnya Nurudin menjelaskan bahwa qurb (dekat) ada tiga macam yaitu:
- Qurb Zamani (dekat dalam arti zaman), seperti zaman nabi Muhammad lebih dekat dari pada zaman nabi Adam.
- Qurb Makani (lebih dekat dalam arti tempat), seperti Mekah dan Jedah.
- Qurb Ma’nawi (lebih dekat dalam arti maknawi), seperti dekatnya ruh dengan jasad.
Dekat dalam arti zaman dan tempat tidak layak dalam
menjelaskan hubungan Allah dan insan, tetapi dipakai untuk hubungan antar
makhluk-Nya. Hanya “dekat maknawi” yang sesuai dan layak untuk hubungan Allah dan
insan seperti halnya ruh dan jasad. Adapun hakikat “dekat maknawi” tidak ada
manusia yang mengetahui, selain orang-orang tertentu yang telah memperoleh
limpahan rahmat ma’rifat dari Allah, seperti para Nabi dan Wali.
Syeh Nurudin juga menolak arti muhith (meliputi) yang
diberikan oleh kaum wujudiyah dalam menafsirkan Q.S [4] ayat 126 seperti telah
diungkapkan di atas dan dipandangnya sebagai tafsiran yang sesat dan salah.
Seperti biasanya, ia kembali mengutip perkataan para ahli tafsir dan sufi tentang
maksud ayat tersebut. Menurut mereka, yang dimaksud muhith adalah bahwa ilmu
dan qudrah Allah menjangkau segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, dan
tidak sesuatupun yang luput dari ilmunya karena segala sesuatu terjadi karena
berkat limpahan nur wujud-Nya. Tampa tajjali (penampakan sifat-sifat)-Nya maka
alam ini tidak ada. Muhith disini tidak dalam arti kendi meliputi air, tetapi
meliputi ruh dengan badan, atau matahari dengan segala yang diteranginya.
Mengenai ayat muttasyabihah yang digunakan sebagai dalil
kebenaran kaum akida wujudiyah, Nurudin menjelaskan pendirian para ulama, baik
terdahulu (salaf) maupun yang kemudian (khalaf) dalam menafsirkan ayat itu.
Para ulama uhlussunnah waljama’ah dan para sufi mengatakan bahwa setiap mukmin
wajib beriman pada ayat-ayat mutasabihah, seperti “tangan Allah” dan “wajah
Allah”, tetapi ia harus menyerahkan makna hakiki ayat-yat tersebut pada allah.
Ia tidak boleh beritikat menurut makna lahirnya ayat tersebut. Artinya, ia
harus menyucikan (tanzih) Allah dari sesuatu persamaan dengan makhluk-Nya dalam
sifat-sifat tersebut. Jadi Allah mempunyai tangan minsalnya, maka tangannnya
tidak sama dengan tangan makhluknya karena “tidak ada yang serupa dengannya”
(QS. [26]: 11). Pendapat ini dianut oleh para ulama salaf. Adapun para ulama
khalaf lebih cendrung mankwilkan ayat-ayat muttasabihad dengan maksud
memelihara aqidah orang umum dari kesalahan mempersamakan Allha dengan manusia.
Oleh karena itu, jika dalam Al-qur’an disebutkan Allah memiliki tangan, yang
dimaksud adalah kekuasaan atau nikmat atau sifat untuk memerintah.[12]
Nurudin Ar-Raniri juga menolak ungkapan-ungkapan
syathatat. Nurudin menjelaskan bahwa ungkapan syathatat keluar dari mulut para
wali karena mereka tidak henti-hentinya berzikir pada allah. Tidak sedikitpun
dahi dan lidah mereka berhenti menyebut nama-Nya sebagai tanda cinta
kepada-Nya. Dalam keadaan demikian khusyu, mereka mengalami fana fi Allah
sehingga hilanglah kesadaran terhadap wujud dirinya. Mereka mengucapkan
ungkapan itu tampa sadar dan ikhtiar. Jika telah sembuh dan sadar kembali seprti biasa, mereka
mengingkari ucapan-ucapan yang keluar dari mulut mereka dan segera membaca
istiqfar lalu bertobat. Jika ucapan syathatat keluar dari mulut mereka yang tidak
sedang mabuk atau fana’, mereka disebut kufur dan wajib segera bertobat. Bila
tidak mau bertobat, mereka wajib dibunuh dan tidak boleh di makamkan di
pekuburan umat islam. Para ulama bahwa mempatwakan boleh membunuh Al-Hallaj
karena telah mengeluarkan kata-kata sythatat dalam keadaan sadarkan diri.
Dari keterangan itu terlihat bahwa Nurudin tidak
menerima ucapan-ucapan syathatat yang dilontarkan oleh para sufi dalam keadaan
sadar karena para walipun segera memohon ampun ke pada Allah setelah sadar dari
kefanaan setelah mengucapkan ungkapan syathatat.
Pemikiran-pemikiran Ar-Raniri tersebut ternyata
berpengaruh besar ke seluruh nusantara sehingga peranan Ar-Raniri dalam
perkembangan islam di wilayah melayu-Indonesia tidak dapat diabaikan. Dia
memainkan peranan penting dalam membawa tradisi islam suni ke wilayah ini
dengan mengurangi kecendrungan kuat intruksi local kedalam islam. Tampa
mengabaikan peranan ulama-ulama lain yang sebelumnya, Ar-Raniri merupakan suatu
mata rantai yang kuat, yang menghubungkan tradisi islam di timur tengah dengan
tradisi islam di nusantara. Jelas ia merupakan salah satu penyebab terpenting
dalam pembaharuan islam di nusantara. Pemikiran Ar-Raniri ini juga banyak
diikuti oleh murid-murinya. Muridnya yang paling menonjol di nusantara adalah Al-Maqassari yang secara tegas menyatakan
bahwa Ar-Raniri adalah syeh dan gurunya.
B. Ajaran Tasauf Nurudin
Al-Raniri
Pemikiran tasau Nurudin Al-Raniri mempunyai pengaruh
besar dalam pemikiran tasau di Nusantara-Indonesia. Dengan mengenalkan dan
menyebarkan penafsiran islam yang dipegang aliran utama kaum ulama dan sufi di
pusat-pusat keilmuan islam, dia memberikan daya dorong yang kuat untuk lahir
dan berkembangnya pembaruan di kalangan muslim Melayu-Indonesia. Konsekuensi
lebih lanjut dari penjelasan Nurudin Al-Raniri mengenai jenis-jenis dan
pemikiran tasauf adalah mendorong intensifikasi islamisasi di wilayah
melayu-indonesia.
Kehadiran Nurudin harus diakui telah berhasil mematahkan
pemikiran kaum wujuudiyah-nya Samsudin Sumatrani. Pemikirannya yang terkesan
konfrontatif dengan hamzah Fanzuri dan Samsudin mengingatkan kita pada tokoh
Al-Gazali yang sangat concern mengkritik kaum filosof dalam kitabnya, Tahafut
Al-Falasifah. Serangan yang dilakukan pada kaum filosof bukan berarti Al-Gazali
tidak memahami pemikioran mereka. Buktinya, buku Maqashid Al-Falasifah yang
disusunnya sebelum Tahafut Al-Falasifah menunjukkan kepiawaiannya dalam
menguasai dan menjelaskan pemikirannya mengenai filsafah. Seperti halnya
Al-Gazali, Nurudin menyerang penganut aliran wujudiyah setelah ia memahami paham
aliran itu.
Pemikiran Nurudin, baik yang ditunjukkan pada tokoh dan
penganut wujudiyah maupun pemikirannya secara umum,dapat diklasifikasikan
menjadi beberapa bidang pembahasan. Meskipun pemikiran tasauf Nurudin berkesan
sangat luas, tetapi pemikirannya dapat dikasifikasikan sebagai berikut.
Pertama, tentang Tuhan. Pendirian Nurudin dalam masalah
ketuhanan pada umumnya bersifat kompromis. Ia berusaha menyatukan faham
muttakalimin dengan paham para sufi yang diwakili Ibn’ Arabi.[13]
Ia berpendapat bahwa ungkapan “wujud Allah dan alam Esa” berarti bahwa alam ini
merupakan sisi lahiriah dari hakikatnya yang bathin, yaitu Allah, seperti yang
dimaksud oleh Ibn’Arabi. Namun, uangkapan itu pada hakikatnya adalah bahwa ala
mini tidak ada.yang ada hanyalah wujud Allah yang esaa. Jadi, tidak dapat
dikatakan alam ini berbeda dan bersatu dengan Allah. Pandangan Nurudin ini
hampir sama dengan pandangan Ibn’Arabi., yakni alam ini merupakan tajjali
Allah. Namun, penafsirannya di atas membuat ia terlepas dari “label” pantaheisme
Ibn’Arabi.
Kedua, tentang alam. Nurudin berpendapat bahwa ala mini
diciptakan oelh Allah melalui tajjali. Ia menolak teori Al-Faidh (emanasi)
Al-Farabi karena akan membawa pengakuan bahwa ala mini qadim sehingga jatuh
dalam kemusyrikan. Alam dan falak, menurutnya, merupakan wajah tajali asma dan
sifat Allah dalam bentuk konkret. Sifat ilmu bertajjali pada alam akal, nama
Rahman bertajali pada Arsy, nama rahim bertajali pada Khursy, nama rasyik
bertajali pada falak ketujuh.
Ketiga, tentang manusia. Nurudin berpendapat bahwa
manusia merupakan makhluk Allah yang paling sempurna di dunia. Manusia
merupakan khalifah Allah di bumi dijadikan sesuai dengan cintranya. Manusia
merupakan mazhar (tempat kenyataan asma dan sifat allah yang paling lengkap dan
menyeluruh). Konsep insan khamil pada dasarnya hamper sama dengan yang
digariskan oleh Ibn’Arabi.
Keempat, tentang wujuduyyah. Nurudin berpendapt bahwa
inti ajaran wujudiyyah berpusat pada wahdat all-wujud, yang disalah artikan
kaum wujudiyyah menjadi kemanunggalan Allah dengan alam. Pendapat Hamzal
Al-Fansuri tentang wahdad al-wujud deapat membawa pada kekapiran. Menurut
Nurudin, jika benar Tuhan dan makhluk hakikatnya bersatu, dapat dikatakan bahwa
manusia adalah tuhan dan tuhan adalah manusia sehingga akhirnya makhluk adalah
tuhan. Semua yang dilakukan manusia, abaik atau buruk, Allah turut serta
melakukannya, juka demikian, manusia juga memiliki sifat-sifat Tuhan.
Kelima, tentang hubungan syariat dan hakikat. Nurudin
berpendapat bahwa pemisahan antara syariat dan hakikat merupakan sesuatu yang
tidak benar, ia lebih menekankan syariat sebagai landasan esensial dalam tasauf
(hakikat).
[1] F.B. Burhan (Ed), Nalar Isloami dan Nalar Modern: Berbagi tantangan
dan Jalan Baru, Jakarta: INIS, 1994, hlm. 4.
[2] Akbar. S. Ahmed, Postmodernism and Islam, New York: Rautledge,
1992, hlm. 29
[3] Ilhamudin, “Kebebasan Islam dalam Perspektif Barat dan Islam, Dalam
Jurnal Miqad, IAIN Sumatra Utara-Medan, No, 84, 1984, Hlm. 28.
[4] Ruslan (Ed), Wacana Spiritualitas Timur dan Barat, Yogyakarta:
Qalam, 2000, hlm. Viii-xi
[5] Ahmad Mubarok, Jiwa
dalam Al-Qur’an, Jakarta: Paramadina,
2000, hlm. 6.
[6]Hana Jumhana Bustaman, “Demensi Pritualitas dala, Teori Psikologi”,
dalam Ulumul Quran, No. 4, Vol, 4. hlm. 16.
[7] Ahmad Daudi, “ Tinjauan Atas Al-Fath Al-Mubin Ala Al-Muhidin Krya
Syeh Nuridin Ar-Raniri’, dalam Ahmad Rifai Hasan, Warisan Intelektual Islam
Idonesia, Bandung, Mizan, 1990, hlm. 21.
[8] Ahmad Daudi, Op. Cit, hlm. 23.
[9] Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasau Dalam Sistem Kekuasaan di
Kesultanan Buthon pada abat ke-19, INIS, Jakarta, 1995, hlm. 58-59.
[10] Ahmad Daudi, Op. Cit, hlm. 29-30.
[11] Ahmad Daudi, Op. Cit, hlm. 31
[12] Ahmad Daudi, Op. Cit, hlm. 33.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar